Sistem Informasi Penelusuran Perkara
PENGADILAN NEGERI PRAYA
INFORMASI DETAIL PERKARA



Nomor Perkara Pemohon Termohon Status Perkara
3/Pid.Pra/2023/PN Pya Fikhan Sahidu Kejaksaan Negeri Lombok Tengah Minutasi
Tanggal Pendaftaran Jumat, 16 Jun. 2023
Klasifikasi Perkara Sah atau tidaknya penetapan tersangka
Nomor Perkara 3/Pid.Pra/2023/PN Pya
Tanggal Surat Jumat, 16 Jun. 2023
Nomor Surat 03
Pemohon
NoNama
1Fikhan Sahidu
Termohon
NoNama
1Kejaksaan Negeri Lombok Tengah
Kuasa Hukum Termohon
Petitum Permohonan
Kami yang bertandatangan di bawah ini :
1. Gilang Hadi Pratama, SH. 
2. Lalu Arya Sukma Gunawan, SH., M.H. 
Para Advokat pada Kantor GHP & PARTNERS Lawyer & Legal Service beralamat di Jalan Energi Karang Buyuk Gg. Pogot No. 4 RT/RW 000/004 Kelurahan Ampenan Selatan Kecamatan Ampenan Kota Mataram Provinsi Nusa Tenggara Barat. yang bertindak bersama-sama atau sendiri-sendiri berdasarkan surat kuasa khusus tertanggal 15 Juni 2023 atas nama :
Nama : Fikhan Sahidu
NIK : 5201090607690001
Tempat/Tgl Lahir : Belencong, 06 Juli 1969
Jenis Kelamin : Laki-laki
Pekerjaan : Wiraswasta
Alamat : Dusun Belencong RT 04 Desa Midang Kecamatan 
  Gunung Sari Kabupaten Lombok Barat Provinsi 
  Nusa Tenggara Barat
Jabatan : Direktur
Kewarganegaraan       : Warga Negara Indonesia
Bertindak untuk dan atas nama PT. Indomine Utama. Yang selanjutnya disebut sebagai : PEMOHON------------------------------------------------------------------------
 
---------------------------------------MELAWAN-------------------------------------------
 
Kepala Kejaksaan Negeri Lombok Tengah yang beralamat di Jalan Gajah Mada No. 126 Prapen Kecamatan Praya, Kabupaten Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat yang untuk selanjutnya disebut sebagai TERMOHON.-------------------------
Untuk mengajukan Permohonan Praperadilan terhadap Penetapan sebagai tersangka dalam dugaan tindak pidana korupsi penyimpangan dalam pekerjaan konstruksi pembangunan jalan akses taman wisata alam gunung tunak kabupaten Lombok tengah pada Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2017 Pasal Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 18 ayat (1) huruf a dan b, ayat (2) dan (3) Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-Undang Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan/atau Pasal 3 jo. Pasal 18 ayat (1) huruf a dan b ayat (2) dan (3) Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-Undang Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke -1 oleh Termohon.
Adapun dalil-dalil permohonan pemohon akan kami uraikan sebagai berikut : 
A. PENDAHULUAN
 
a. Tindakan upaya paksa seperti Penyidikan, penetapan tersangka, penangkapan penggeledahan, penyitaan, pengeledahan, penahanan, dan penuntutan yang dilakukan dengan melanggar peraturan perundang-undangan pada dasarnya merupakan suatu tindakan perampasan hak asasi manusia. Menurut Andi Hamza (1986:10) praperadilan merupakan tempat mengadukan pelanggaran Hak Asasi Manusia, yang memang pada kenyataannya penyusunan KUHAP banyak disemangati dan berujukan pada Hukum Internasional yang telah menjadi International Customary Law. Oleh karena itu, Praperadilan menjadi satu mekanisme kontrol terhadap kemungkinan tindakan sewenang-wenang dari penyidik atau penuntut umum dalam melakukan tindakan tersebut. Hal ini bertujuan agar hukum ditegakan dan perlindungan hak asasi manusia sebagai tersangka/terdakwa dalam pemeriksaan penyidikan dan penuntutan. Disamping itu praperadilan sebagai pengawasan secara horizontal terhadap hak-hak tersangka/terdakwa dalam pemeriksaan pendahuluan (vide Penjelasan Pasal 80 KUHAP). Berdasarkan pada nilai itulah penyidik atau penuntut umum dalam melakukan tindakan Penyidikan, penetapan tersangka, penangkapan, penggeladahan, penyitaan, penahanan dan penuntutan agar lebih mengedepankan asas prinsip kehati-hatian dalam menetapkan seseorang menjadi tersangka.
 
b. Bahwa sebagaimana diketahui Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Pasal 1 angka 10 menyatakan : “Praperadilan adalah wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini tentang : 
1. Sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka;
2. Sah atau tidaknya penghentian penyidikan, atau penghentian penuntutan, atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan;
3. Permintaan ganti kerugian, atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan.”
Bahwa sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 77 KUHAP yang berbunyi :”Pengadilan negeri berwewenang untu memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini tentang :
1. Sah tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan, atau penghentian penuntutan;
2. Ganti kerugian dan atau rehabilitasi, bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.”
 
c. Bahwa “Pasal 77 huruf a Undang-undang nomor 8 tahun 1981 tentang hukum acara pidana (Lembaran negara RI tahun 1981, nomor 76, tambahan lembaran negara RI nomor 3209) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak memaknai termasuk penetapan tersangka, penggeledahan dan penyitaan;” Dengan demikian jelas bahwa berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi No.21/PUU-XII/2014 bahwa penetapan tersangka merupakan bagian dari wewenang praperadilan. Mengingat Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final dan mengikat.
 
d. Bahwa sebagaimana juga dijelaskan dalam putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia No. 21/PUU-XII/2014 yang amarnya berbunyi ”Frasa “bukti permulaan yang”, bukti permulaan yang cukup”, dan “bukti yang cukup” sebagaimana ditentukan dalam pasal 1 angka 14, 17 dan 21 ayat 1 UU No.8 tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana, No.76 (lembaran negara RI tahun 1981, No 76, tambahan lembaran negara RI No 3209) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai bahwa “bukti permulaan yang ”, bukti permulaan yang cukup”, dan “bukti yang cukup” adalah minimal dua alat bukti yang termuat dalam pasal 184 UU RI No.8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana”.
 
B. FAKTA- FAKTA HUKUM 
- Bahwa Pemohon adalah Direktur PT. Indomine Utama;
- Bahwa pada tahun 2017 Dinas PUPR Provinsi NTB mengadakan tender Pekerjaan Konstruksi Pembangunan Jalan Akses Taman Wisata Alam Gunung Tunak Kabupaten Lombok Tengah;
- Bahwa tiba-tiba sekitar bulan Juni 2022 dan pada tanggal 05 Juni 2023 kemudian tanggal 8 Juni 2023 Pemohon berkali-kali diperiksa sebagai saksi dalam perkara tidak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat 1 dan 3 UU No.20 tahun 2001 tentang perubahan UU RI NO.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana korupsi;
- Bahwa tiba-tiba pemohon kaget dengan adanya Penetapan Tersangka Nomor : Print – 68/N.2.11/Fd.1/06/2023, tanggal 8 Juni 2023. 
 
C. ALASAN PERMOHONAN PRAPERADILAN
 
1. Bahwa Termohon tidak pernah memberitahukan/ menyerahkan surat perintah dimaulainya penyidikan (SPDP) kepada pemohon.
- Bahwa Termohon telah melanggar ketentuan putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia No.130/PPU/XIII/2015 yang menyatakan bahwa : “penyidik wajib memberitahukan dan menyerahkan surat perintah dimulainya penyidikan (SPDP) kepada penuntut umum, terlapor dan korban/pelapor dalam waktu paling lambat 7 (tujuh) hari setelah dikeluarkannya Surat Perintah Penyidikan,”, karena sejak dikeluarkan surat Perintah Penyidikan Nomor : Print-01/N.2.11/Fd.1/05/2022 tanggal 24 Mei 2022, Print-01a/N.2.11/Fd.1/07/2022 tanggal 04 Juli 2022, dan Print-209A/N.2.11/Fd.1/02/2023 tanggal 20 Februari 2023 tentang Penyidikan tindak pidana korupsi dalam perkara “dugaan penyimpangan dalam pekerjaan konstruksi pembangunan jalan akses taman wisata alam gunung tunak kabupaten Lombok tengah pada Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2017”, sampai dengan Permohonan Praperadilan ini diajukan Pemohon dan/atau keluarga pemohon belum menerima Surat Perintah Dimulainya Penyidikan (SPDP) sebagaimana Surat Perintah Penyidikan diatas dari Termohon;
- Bahwa oleh karena Termohon tidak pernah menyerahkan/memberitahukan Surat Perintah Dimulainya Penyidikan kepada pemohon (SPDP) sebagaimana diamanatkan dalam putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia No.130/PPU/XIII/2015, maka sudah nyata dan jelas rangkaian Penyidikan termasuk penetapan tersangka yang dilakukan Termohon terhadap diri Pemohon adalah tidak sah;
- Bahwa kemudian Termohon mengeluarkan Surat Perintah Penyidikan Nomor : Print-71/N.2.11/Fd.1/06/2023 tertanggal 08 Juni 2023 bersamaan dengan Penetapan Tersangka atas nama Pemohon dengan nomor : Print-68/N.2.11/Fd.1/06/2023 tertanggal 08 Juni 2023 dan SPDP tertanggal 08 Juni 2023.
2. Penetapan tersangka yang dilakukan termohon kepada pemohon tidak ada bukti permulaan :
- Bahwa sebagaimana dijelaskan dalam pasal 1 angka14 KUHAP yang berbunyi, ”tersangka adalah seseorang yang karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana;
- Bahwa frasa “bukti permulaan” dalam pasal 1 angka 14 KUHAP dalam Putusan MK RI Nomor 21/PUU-XII/2014 telah dimaknai minimal dua alat bukti sesuai pasal 184 KUHAP;
- Bahwa Surat Perintah Penyidikan Nomor : Print-71/N.2.11/Fd.1/06/2023 bersamaan dengan Penetapan Tersangka atas nama Pemohon dengan Nomor : Print-68/N.2.11/Fd.1/06/2023 dan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan diterbitkan oleh Termohon secara bersaman yaitu tanggal 08 Juni 2023, hal ini membuktikan bahwa Termohon pada saat menetapkan Pemohon menjadi tersangka belum mengantongi bukti permulaan, karena bagaimana mungkin Penyidik bisa ada kesempatan mengumpulkan Alat bukti untuk menjadi dasar Termohon untuk menetapkan Pemohon sebagai tersangka sementara surat perintah penyidikan dikeluarkan bersamaan dengan surat penetapan Tersangka.
3. Dalam menetapkan kerugian negara termohon tidak berdasarkan perhitungan BPK : 
- Bahwa sebagaimana dijelaskan dalam UU No.15 Tahun 2006 Tentang BPK Pasal 1 Angka 1 menyebutkan Badan Pemeriksa Keuangan yang selanjutnya disingkat BPK, adalah lembaga negara yang bertugas untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara sebagaimana dimaksud dalam UU Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Undang-Undang No.15 Tahun 2006 Pasal 10 ayat 1 UU BPK juga menyebutkan bahwa “BPK menilai dan/atau menetapkan jumlah kerugian negara yang diakibatkan oleh perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun maupun lalai yang dilakukan oleh bendahara, pengelola BUMN/BUMD, dan lembaga/badan lain yang menyelenggarakan pengelolaan keuangan negara”;
- Bahwa sebagaimana dijelaskan dalam sema No.4 Tahun 2016 Huruf A Rumusan Hukum Kamar Pidana angka 6 menyebutkan “bahwa instansi yang berwewenang menyatakan ada tidaknya kerugian keuangan negara adalah Badan pemeriksa keungan yang memiliki kewenangan konstitusional,sedangkan instansi lainnya seperti Badan Pemeriksa Keuangan dan pembangunan /Inspektorat /satuan kerja perangkat daerah tetap berwewenang melakukan pemeriksaan dan audit pengelolaan keuangan negara,namun tidak menyatakan atau mendeclare adanya kerugian negara.dalam hal tertentu hakim berdasarkan fakta persidangan dapat menilai adanya kerugian negara dan besarnya kerugian negara”;
- Bahwa dalam tindak pidana korupsi sebagaimana yang telah di sangkakan oleh termohon kepada diri Pemohon, Termohon dalam menentukan kerugian Negara tidak berdasarkan perhitungan dari BPK;
- Bahwa oleh karena kerugian negara dalam perkara korupsi ini tidak berdasarkan pernyataan dari BPK, maka sudah jelas dan nyata tindak pidana korupsi yang dituduhkan Termohon kepada Pemohon tidaklah cukup bukti karena perhitungan kerugiannya tidak sah;
- Bahwa dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor : 25/PUU-XIV/2016 menjelaskan yang pada pokoknya bahwa untuk menerapkan pasal 2 ayat 1 dan 3 UU RI No.20 tahun 2001 tentang perubahan atas UU NO.31 tahun 1999 tentang pemberantasan Tindak pidana Korupsi menyatakan “bahwa Penyidik harus sudah menemukan kerugian negara sebelum menetapkan tersangka”;
- Bahwa oleh karena sudah nyata rangkain penyidikan termasuk penetapan tersangka didalamnya yang dilakukan Termohon terhadap diri Pemohon tidak sah, maka pantas apabila Termohon diperintahkan untuk menghentikan penyidikan dan segera membebaskan Pemohon dari status Tersangka.
Demikian dalil-dalil permohonan ini kami sampaikan berdasarkan fakta-fakta yuridis, kami mohon kepada Majelis Hakim yang memeriksa, mengadili, dan memutuskan perkara a quo dengan putusan sebagai berikut : 
1. Menyatakan permohonan pemohon dikabulkan untuk seluruhnya;
2. Menyatakan rangkaian tindakan penyidikan yang dilakukan Termohon terhadap Pemohon adalah tidak sah;
3. Menyatakan surat perintah penyidikan berupa :  
- Print-01/N.2.11/Fd.1/05/2022 tanggal 24 Mei 2022;
- Print-01a/N.2.11/Fd.1/07/2022 tanggal 04 Juli 2022;
- Print-209A/N.2.11/Fd.1/02/2023 tanggal 20 Februari 2023;
- Print-71/N.2.11/Fd.1/06/2023 tertanggal 08 Juni 2023.
yang dikeluarkan Termohon adalah Tidak Sah dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat;
4. Menyatakan Penetapan Tersangka atas nama Pemohon dengan nomor : Print-68/N.2.11/Fd.1/06/2023 tertanggal 08 Juni 2023 adalah tidak sah dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat
5. Memerintahkan kepada Termohon untuk menghentikan penyidikan terhadap Pemohon;
6. Memulihkan hak PEMOHON dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya;
7. Membebankan seluruh biaya perkara kepada Termohon.
Apabila Majelis Hakim yang memeriksa, mengadili dan memutuskan perkara a quo berpendapat lain maka mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono).
Pihak Dipublikasikan Ya