Sistem Informasi Penelusuran Perkara
PENGADILAN NEGERI PRAYA
INFORMASI DETAIL PERKARA



Nomor Perkara Pemohon Termohon Status Perkara
2/Pid.Pra/2025/PN Pya NAIM Kepala Kepolisian Negara Repoblik Indonesia CQ.Kepala Kepolisian Daerah Nusa Tenggara Barat Cq.Kapolres Lombok Tengah CQ Kasat Reskrim Polres Lombok Tenagh Persidangan
Tanggal Pendaftaran Rabu, 12 Feb. 2025
Klasifikasi Perkara Sah atau tidaknya penetapan tersangka
Nomor Perkara 2/Pid.Pra/2025/PN Pya
Tanggal Surat Rabu, 12 Feb. 2025
Nomor Surat 007/SKK.Pid/Adv.MYS/II/2025
Pemohon
NoNama
1NAIM
Termohon
NoNama
1Kepala Kepolisian Negara Repoblik Indonesia CQ.Kepala Kepolisian Daerah Nusa Tenggara Barat Cq.Kapolres Lombok Tengah CQ Kasat Reskrim Polres Lombok Tenagh
Kuasa Hukum Termohon
Petitum Permohonan
Adapun yang menjadi alasan permohonan pemohon adalah sebagai berikut 
 
I. DASAR HUKUM PERMOHONAN PRAPERADILAN :
1. Bahwa tindakan upaya paksa, seperti penetapan tersangka, penangkapan, penggeledahan, penyitaan,  penahanan, dan penuntutan yang dilakukan dengan melanggar peraturan perundang-undangan pada dasarnya merupakan suatu tindakan perampasan hak asasi manusia. Menurut Andi Hamzah (1986:10) praperadilan merupakan tempat mengadukan pelanggaran Hak Asasi Manusia, yang memang pada kenyataannya penyusunan KUHAP banyak disemangati dan berujukan pada Hukum Internasional yang telah menjadi International Customary Law. Oleh karena itu, Praperadilan menjadi satu mekanisme kontrol terhadap kemungkinan tindakan kesewenang-wenangan dari penyidik atau penuntut umum dalam melakukan tindakan tersebut. Hal ini bertujuan agar hukum ditegakkan dan perlindungan hak asasi manusia sebagai tersangka/terdakwa  dalam pemeriksaan penyidikan dan penuntutan. Di samping itu, praperadilan bermaksud sebagai pengawasan secara horizontal terhadap  hak-hak tersangka/terdakwa dalam pemeriksaan pendahuluan (vide Penjelasan Pasal 80 KUHAP). Berdasarkan pada nilai itulah penyidik atau penuntut umum dalam melakukan tindakan penetapan tersangka, penangkapan, penggeledahan, penyitaan,  penahanan, dan penuntutan agar lebih mengedepankan asas dan prinsip kehati-hatian dalam menetapkan seseorang menjadi tersangka.
2. Bahwa sebagaimana diketahui Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Pasal 1 angka 10 menyatakan :
Praperadilan adalah wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini, tentang :
a. Sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka;
b. Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan;
c. Permintaan ganti kerugian, atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan;
3. Bahwa selain itu yang menjadi objek praperadilan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 77 KUHAP diantaranya adalah :
Pengadilan negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini tentang :
a. sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan;
b. ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan;
4. Bahwa Dalam perkembangannya pengaturan Praperadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 10 Jo. Pasal 77 KUHAP, sering terjadi tidak dapat menjangkau fakta perlakuan aparatur penegak hukum yang nyata-nyata merupakan pelanggaran hak asasi seseorang, sehingga yang bersangkutan tidak memperoleh perlindungan hukum yang nyata dari Negara. Untuk itu perkembangan yang demikian untuk dapat diakomodirnya mengenai sah tidaknya penyidikan dan sah tidaknya penetapan tersangka telah diakui merupakan wilayah kewenangan Praperadilan, sehingga dapat meminimalisasi terhadap perlakuan kesewenang-wenangan oleh aparat penegak hukum. Dalam kaitan perubahan dan perkembangan hukum dalam masyarakat yang demikian, bukanlah sesuatu yang mustahil terjadi dalam praktik sistem hukum di negara mana pun apalagi di dalam sistem hukum common law, yang telah merupakan bagian dari sistem hukum di Indonesia. Peristiwa hukum inilah yang menurut (alm) Satjipto Rahardjo disebut ”terobosan hukum” (legal-breakthrough) atau hukum yang prorakyat (hukum progresif) dan menurut Mochtar Kusumaatmadja merupakan hukum yang baik karena sesuai dengan perkembangan nilai-nilai keadilan yang hidup dan berkembang dalam masyarakat. Terobosan hukum dan hukum yang baik itu merupakan cara pandang baru dalam memandang fungsi dan peranan hukum dalam pembangunan nasional di Indonesia. Dengan demikian hukum bukan hanya memiliki aspek normatif yang diukur dari kepastiannya melainkan juga memiliki aspek nilai (values) yang merupakan bagian dinamis aspirasi masyarakat yang berkembang dan terkini;
5. Bahwa melalui Putusan Mahkamah Konstitusi No. 130/PUU-XIII/2015 tanggal 09 Januari 2017 memperkuat diakuinya lembaga Praperadilan juga dapat memeriksa dan  mengadili keabsahan proses penyidikan, seperti pada kutipan putusan Mahkamah Konstitusi No. 130/PUU-XIII/2015 sebagai berikut :
Mengadili,
1. Mengabulkan permohonan para Pemohon unuk sebagian;
2. Menyatakan Pasal 109 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik IndonesiaTahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara 3209) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Republik Indoesia Tahun 1945 secara bersyarat dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang frasa “penyidik memberitahukan hal itu kepada penuntut umum” tidak dimaknai “penyidik wajib memberitahukan dan menyerahkan surat perintah dimulainya penyidikan kepada penuntut umum, terlapor, dan korban/pelapor dalam waktu paling lambat 7 (tujuh) hari setelah dikeluarkannya surat perintah penyidikan”;
3. Menolak permohonan para pemohon untuk selain dan selebihnya;
4. Memerintahkan pemuatan putusan dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya.
6. Bahwa demikian juga melalui Putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014 tanggal 28 April 2015 memperkuat diakuinya lembaga praperadilan juga dapat memeriksa dan mengadili keabsahan penetapan tersangka, seperti pada kutipan putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014 sebagai berikut :
Mengadili,
Menyatakan :
1. Mengabulkan Permohonan untuk sebagian;
a. [dst]
b. [dst]
2. Pasal 77 huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang hukum acara pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1981, Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai termasuk Penetapan Tersangka, Penggeledahan dan Penyitaan;
3. Pasal 77 huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang hukum acara pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1981, Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai termasuk Penetapan Tersangka, Penggeledahan dan Penyitaan;
II. KEDUDUKAN HUKUM (LEGAL STANDING) PEMOHON : 
1. Bahwa Pemohon telah ditetapkan sebagai Tersangka oleh Termohon sesuai  dengan Surat Kapolres Lombok Tengah Nomor : SK / 12 / II / RES.1.2. / 2025 / Reskrim, tanggal 04 Februari 2025 dan kemudian diberitahukan kepada Pemohon dengan Surat Kapolres Lombok Tengah Nomor : B/226/II/RES.1.2./2025/Reskrim, tanggal 04 Februari 2025, Perihal : Pemberitahuan Petetapan Tersangka terhadap perkara dugaan terjdinya tindak pidana penguasaan tanah tanpa seijin yang berhak  atau kuasanya yang sah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 Ayat (1) huruf a Prp. No. 51 tahun 1960 Jo UU RI No. 1 tahun 1961 tentang Penetapan semua Undang-undang Darurat dan semua Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang, akan tetapi dalam Surat  Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan Nomor : SPDP/17/I/RES.1.2./2025/Reskrim, tanggal 23 Januari 2025, Pemohon sudah dinyatakan sebagai Tersangka, kalua demikian apa dasar hukum yang dipergunakan untuk menetapkan Pemohon sebagai Tersangka oleh Termohon dalam Surat  Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan Nomor : SPDP/17/I/RES.1.2./2025/Reskrim, tanggal 23 Januari 2025 tersebut; 
2. Bahwa perluasan mengenai kedudukkan hukum Pemohon (Legal Standing) mengajukan Praperadilan mengacu pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor : 76/PUU-X/2012 tanggal 8 Januari 2013 dan dikutip Kembali dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor :  98/PUU-X/2012 tanggal 21 Mei 2013 yang telah memberikan hak Lembaga Swadaya Masyarakat mengajukan Praperadilan, dengan demikian oleh karena Pemohon sebagai pihak yang dirugikan atas suatu proses penegakan hukum pidana maka dalam perkara a quo Pemohon memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan Praperadilan tentang sah atau tidaknya Penyidikan, dan Penetapan Tersangka yang dilakukan Termohon.
 
III. DASAR DAN ALASAN-ALASAN PERMOHONAN PRAPERDILAN :
A. PENYIDIKAN YANG DILAKUKAN OLEH TERMOHON MERUPAKAN TINDAKAN KESEWENANG-WENANGAN DAN BERTENTANGAN DENGAN HUKUM :
1. Bahwa Penyidikan yang dilakukan oleh Termohon tidak sesuai dan bertentangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 130/PUU-XIII/2015 tanggal 09 Januari 2017, yang  dalam amar Putusan angka 2 berbunyi “Menyatakan Pasal 109 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara 3209) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Republik Indoesia Tahun 1945 secara bersyarat dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang frasa “penyidik memberitahukan hal itu kepada penuntut umum” tidak dimaknai “penyidik wajib memberitahukan dan menyerahkan surat perintah dimulainya penyidikan kepada penuntut umum, terlapor, dan korban/pelapor dalam waktu paling lambat 7 (tujuh) hari setelah dikeluarkannya surat perintah penyidikan”, sehingga secara yuridis formal Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan diterbitkan setidak-tidaknya bersamaan waktunya dengan terbitnya Surat Perintah Penyidikan dan Penyidik wajib memberitahukan dan menyerahkan kepada Terlapor/Tersangka dalam waktu paling lambat 7 (tujuh) hari setelah dikeluarkannya surat perintah penyidikan, Adapun perlunya SPDP tersebut wajib diberitahukan dan diserahkan oleh penyidik kepada penuntut umum, terlapor dan korban/pelapor sebagaimana pendapat dari Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi No. 130/PUU-XIII/2015 tanggal 09 Januari 2017 halaman 147 alinia kedua yang menyatakan “mahkamah berpendapat, tertundanya penyampaian SPDP oleh penyidik kepada jaksa penuntut umum bukan saja menimbulkan ketidakpastian hukum akan tetapi juga merugikan hak konstitusional terlapor dan korban/pelapor, oleh karena itu penting bagi Mahkamah untuk menyatakan bahwa pemberian SPDP tidak hanya diwajibkan terhadap jaksa penuntut umum akan tetapi juga terhadap terlapor dan korban/pelapor, alasan Mahkamah tersebut didasarkan pada pertimbangan bahwa terhadap terlapor yang telah mendapatkan SPDP, maka yang bersangkutan dapat mempersiapkan bahan-bahan pembelaan dan juga dapat menunjuk penasehat hukum yang akan mendampinginya, sedangkan bagi korban/pelapor dapat dijadikan momentum untuk mempersiapkan keterangan atau bukti yang diperlukan dalam pengembangan penyidikan atas laporannya”, kemudian pada halaman 137 alinia pertama baris ke-7 sampai dengn baris ke-10 dinyatakan “Cacatnya procedural dalam penyidikan mengakibatkan segala proses yang dilakukan dalam tahap penyidikan sebelum disampaikannya SPDP adalah bersifat UNLAWFULL dan berimplikasi pada segala tidakan yang telah dilakukan dalam tahapan harus dinyatakan batal demi hukum”,    dan karena hal ini tidak dilakukan oleh Termohon maka dengan demikian proses Penyidikan yang dilakukan oleh Termohon bertentangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 130/PUU-XIII/2015 tanggal 09 Januari 2017, sehingga harus dinyatakan batal demi hukum.
2. Bahwa proses penyidikan yang dilakukan oleh Termohon juga bertentangan dengan Peraturan Kapolri Nomor : 6 tahun 2019 tentang Penyidikan Tindak Pidana, yang dalam Pasal 13 ayat (3) mengandung kaidah “Setelah Surat Perintah Penyidikan diterbitkan, dibuat SPDP”, kemudian dalam Pasal 14 ayat (1) dinyatakan “SPDP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (3) dikirimkan kepada Penuntut Umum, Pelapor/Korban dan Terlapor dalam waktu paling lambat 7(tujuh) hari setelah diterbitkan Surat Perintah Penyidikan”; dan karena hal ini tidak dilakukan oleh Termohon maka dengan demikian proses Penyidikan yang dilakukan oleh Termohon bertentangan dengan Peraturan Kapolri Nomor : 6 tahun 2019 tentang Penyidikan Tindak Pidana, maka segala tidakan yang telah dilakukan dalam tahapan harus dinyatakan batal demi hukum dan sudah sepatutnya Hakim yang memeriksa dan mengadili perkara a quo mengabulkan permohonan Pemohon;
 
B. PENETAPAN TERSANGKA TERHADAP PEMOHON MERUPAKAN TINDAKAN KESEWENANG-WENANGAN DAN BERTENTANGAN DENGAN HUKUM :
1. Bahwa Pemohon telah ditetapkan sebagai Tersangka oleh Termohon berdasarkan Surat Ketetapan Nomor : SK/12/II/RES.1.2./2025/Reskrim tentang PENETAPAN TERSANGKA, tanggal 04 Februari 2025 dan kemudian diberitahukan kepada Pemohon dengan Surat Pemberitahuan Penetapan Tersangka Nomor : B/226/II/RES.1.2./2025/Reskrim, tanggal 04 Februari 2025, Perihal : Pemberitahuan Penetapan Tersangka terhadap perkara  tindak pidana penguasaan tanah tanpa seijin yang berhak  atau kuasanya yang sah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 Ayat (1) huruf a Prp. No. 51 tahun 1960 Jo UU RI No. 1 tahun 1961 tentang Penetapan semua Undang-undang Darurat dan semua Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang, sehingga dalam hal ini jelas Penyidikan yang dilakukan oleh Termohon tidak sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku di Negara Republik Indonesia antara lain yaitu bertentangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 130/PUU-XIII/2015 tanggal 09 Januari 2017, yang  dalam amar Putusan angka 2 berbunyi “Menyatakan Pasal 109 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik IndonesiaTahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara 3209) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Republik Indoesia Tahun 1945 secara bersyarat dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang frasa “penyidik memberitahukan hal itu kepada penuntut umum” tidak dimaknai “penyidik wajib memberitahukan dan menyerahkan surat perintah dimulainya penyidikan kepada penuntut umum, terlapor, dan korban/pelapor dalam waktu paling lambat 7 (tujuh) hari setelah dikeluarkannya surat perintah penyidikan”, sehingga secara yuridis formal Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan diterbitkan setidak-tidaknya bersamaan waktunya dengan terbitnya Surat Perintah Penyidikan dan Penyidik wajib memberitahukan dan menyerahkan kepada Terlapor/Tersangka dalam waktu paling lambat 7 (tujuh) hari setelah dikeluarkannya surat perintah penyidikan dan demikian juga dalam Peraturan Kapolri Nomor : 6 tahun 2019 tentang Penyidikan Tindak Pidana, yang dalam Pasal 13 ayat (3) menyatakan “Setelah Surat Perintah Penyidikan diterbitkan, dibuat SPDP”, dan Pasal 14 ayat (1) menyatakan “SPDP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (3) dikirimkan kepada Penuntut Umum, Pelapor/Korban dan Terlapor dalam waktu paling lambat 7(tujuh) hari setelah diterbitkan Surat Perintah Penyidikan”; akan tetapi Termohon dalam melakukan proses penyidikan (termasuk penetapan tersangka) telah melanggar ketentuann tersebut sehingga segala tidakan yang telah dilakukan dalam tahapan (termasuk penetapan tersangka) harus dinyatakan batal demi hukum;
2. Bahwa oleh karena penetapan sebagai tersangka terhadap Pemohon oleh Termohon dengan didasari proses penyidikan yang tidak prosedural dan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang seharusnya menjadi pedoman dan rujukan oleh Termohon dalam melakukan proses penyidikan antara lain yaitu pasal 109 KUHAP (Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik IndonesiaTahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara 3209), Putusan Mahkamah Konstitusi No. 130/PUU-XIII/2015, tanggal 09 Januari 2017 dan Peraturan Kapolri Nomor : 6 tahun 2019, tanggal 4 Oktober 2019 tentang Penyidikan Tindak Pidana, maka dengan demikian Penetapan sebagai tersangka kepada Pemohon oleh Termohon adalah cacat yuridis, tidak sah dan batal demi hukum, maka sudah sepatutnya Hakim yang memeriksa dan mengadili perkara a quo mengabulkan permohonan Pemohon;
 
IV. PETITUM :
Berdasar pada argument dan fakta-fakta yuridis diatas, Pemohon mohon kepada Yang Mulia Hakim Pengadilan Negeri Praya yang memeriksa dan mengadili perkara A Quo berkenan memutus perkara ini sebagai berikut :
1. Mengabulkan permohonan Praperadilan Pemohon untuk seluruhnya;
2. Menyatakan menurut hukum Tindakan Penyidikan, dan Penetapan Tersangka, adalah tidak sah dan tidak berdasar atas hukum dan oleh karenanya tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
3. Menyatakan tidak sah segala keputusan atau penetapan yang dikeluarkan lebih lanjut oleh Termohon yang berkenaan dengan Penyidikan, dan Penetapan Tersangka;
4. Memerintahkan kepada Termohon untuk menghentikan penyidikan terhadap Pemohon karena cacat yuridis, cacat sosiologis, cacat fakta dan bertentangan atau tidak sesuai dengan hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
5. Menyatakan hukum bahwa perbuatan Termohon yang menetapkan Pemohon selaku Tersangka tanpa prosedur adalah cacat yuridis / bertentangan dengan hukum, yang mengakibatkan kerugian sebesar Rp.100.000.000,-(seratus juta rupiah);
6. Memulihkan hak Pemohon dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya.
7. Menghukum Termohon untuk membayar biaya perkara menurut ketentuan hukum yang berlaku.
Pihak Dipublikasikan Ya