Sistem Informasi Penelusuran Perkara
PENGADILAN NEGERI PRAYA
INFORMASI DETAIL PERKARA



Nomor Perkara Pemohon Termohon Status Perkara
6/Pid.Pra/2024/PN Pya AZWAR ANAS,S.Pd Kapolres Lombok Tengah CQ Kasatreskrim Polres Lombok Tengah Minutasi
Tanggal Pendaftaran Kamis, 19 Des. 2024
Klasifikasi Perkara Sah atau tidaknya penetapan tersangka
Nomor Perkara 6/Pid.Pra/2024/PN Pya
Tanggal Surat Kamis, 19 Des. 2024
Nomor Surat 33/ADV.KOM/XII/2024
Pemohon
NoNama
1AZWAR ANAS,S.Pd
Termohon
NoNama
1Kapolres Lombok Tengah CQ Kasatreskrim Polres Lombok Tengah
Kuasa Hukum Termohon
Petitum Permohonan

Adapun dasar-dasar diajukanya Praparadilan ini adalah sebagai berikut :

  • DASAR HUKUM PERMOHONAN
  • Bahwa permohonan prapradilan ini didasari ketentuan hukum sebagai mana yang diatur didalam KUHP terdiri dari :
  • Pasal 1 ayat (10) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHP) menyatakan “Prapradilan adalah wewenang Pengadilan Negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur dalam Undang-undang ini, tentang:
  • Sah atau tidaknya suatau penangkapan dan atau penahanan atas permintaan Tersangkaatau Keluarganya atau Pihak lain atau Kuasa Tersangka
  • Sah atau tidaknya Penghentian Penyidikan atau Penghentian Penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan
  • Permintaan Ganti Kerugian, atau Rehabilitasi oleh Tersangka atau Keluarganya atau Pihak Lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke Pengadilan.
  • Pasal 77 KUHP menyatakan bahwa:

Pengadilan Negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus sesuai dengan ketentuan yang diataur dalam Undang-undang ini Tentang :

  • Sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, Penghentian Penyidikan atau Penghentian Penuntutan
  • Ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidanaya dihentikan pada tingkat Penyidikan atau Penuntutan
  • Pasal 78 KUHAP menyatakan :
  •  Yang melaksanakan wewenang pengadilan negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 adalah Praperadilan;
  • Praperadilan dipimpin oleh hakim tunggal yang ditunjuk oleh ketua pengadilan negeri dan dibantu oleh seorang panitera
  • Pasal 80 KUHAP  menyatakan bahwa : Permintaan untuk memeriksa sah atau tidak suatu penghentian penyidikan atau penuntutan dapat diajukan oleh penyidik atau penuntut umum atau pihak ketiga yang berkepentingan kepada ketua pengadilan negeri dengan menyebutkan alasannya
  • Pasal 82 KUHAP  menyatakan bahwa :
  •  Acara pemeriksaan praperadilan untuk hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79, Pasal 80 dan Pasal 81 ditentukan sebagai berikut:
  • Dalam waktu tiga hari setelah diterimanya permintaan, hakim yang ditunjuk menetapkan hari sidang;
  • Dalam memeriksa dan memutus tentang sah atau tidaknya penangkapan atau penahanan, sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penuntutan, permintaan ganti kerugian dana tau rehabilitasi akibat tidak sahnya penangkapan atau penahanan, akibat sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan dana da benda yang disita yang tidak termasuk alat pembuktian, hakim mendengar keterangan baik dari tersangka atau pemohon maupun dari pejabat yang berwenang;
  • Pemeriksaan tersebut dilakukan secara cepat dan selambat-lambatnya tujuh hari hakim harus sudah menjatuhkan putusannya;
  • Dalam hal suatu perkara sudah mulai, diperiksa oleh pengadilan negeri, sedangkan pemeriksaan mengenai permintaan kepada praperadilan belum selesai, maka permintaan tersebut gugur;
  • Putusan praperadilan pada tingkat penyidikan tidak menutup kemungkinan untuk mengadakan pemeriksaan, praperadilan lagi pada tingkat pemeriksaan oleh penuntut umum, jika untuk itu diajukan permintaan baru.
  • Putusan hakim dalam acara pemeriksaan praperadilan mengenai hal sebagaimana dimaksud dalam pasal 79, Pasal 80, dan Pasal 81, harus memuat dengan jelas dasar alasannya;
  • Isi putusan selain memuat ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) juga memuat hal sebagai berikut : dalam hal putusan menetapkan bahwa suatu penangkapan atau penahanan tidak sah, maka penyidik atau jaksa penuntut umum pada tingkat pemeriksaan masing-masing harus membebaskan tersangka
  • Bahwa berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor : 21/PUU-XII/2014, tertanggal 28 oktober 2014, terhadap norma Pasal 77 tersebut diatas telah dinyatakan bertentangan dengan konstitusi secara bersyarat (conditionally unconstitusional), yaitu sepanjang tidak dimaknai termasuk penetapan tersangka, Penggeledahan, dan Penyitaan, adapun putusan Mahkamah Konstitusi tersebut sebagaiaman termuat pada halaman 110 menyatakan sebagai berikut :

Pasal 77 huruf a undang-undang nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana……….., bertentangan dengan Undangundang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai termasuk penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan

  • Bahwa oleh karenanya berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, maka objek dari peraperadilan dalam Pasal 77 huruf a KUHAP telah diperluas menjadi sah tidaknya : (i) Penangkapan ; (ii) Penahanan; (iii) Penghentian Penyidikan; atau (iv) Penghentian penuntutan; juga mencangkup sah tidaknya: (V) Penetapan tersangka ; (vi) Penggeledahan ; dan (vii) Penyitaan.
  • Bahwa putusan Mahkamah Konstitusi tersebut relevan dengan tujuan praperadilan sebagai mekanisme pengawasan horizontal untuk melindungi hak asasi Tersangka dari potensi perampasan hak atas rasa aman. Hal ini sebagaimana dikutip oleh Supriyadi Widodo Edyyono et-al., dalam bukunya “Praperadilan di Indonesia: Teori, Sejarah, dan Praktiknya, Jakarta: Institute for Criminal Justice Reform, 2014, Cet 1, Hlm 4”. Yang menyatakan :

“Praperadilan bertujuan menengakkan dan memberikan perlindungan hak asasi manusia (HAM) `tersangka/terdakwa dalam pemeriksaan penyidikan dan penuntutan, Mekanisme ini dipandang sebagai bentuk pengawasan secara horizontal terhadap hak-hak tersangka/terdakwa dalam pemeriksaan pendahuluan. Pada dasarnya setiap tindakan upaya paksa, seperti penangkapan, penggeledahan, penyitaan, penahanan, dan penuntutan yang dilakukan dengan melanggar peraturan perundang-undangan adalah perampasan HAM, sehingga dengan adanya praperadilan diharapkan pemeriksaan perkara pidana dapat berjalan sesuai dengan peraturan hukum yang berlaku’’

  • Bahwa keberadaan Praperadilan di Indonesia didasarkan pada prinsip Habeas Corpus sebagai pranata untuk mengontrol  potensi kesewenang-wenangan penegak hukum dalam menerapkan upaya paksa pada seseorang khususnya Tersangka. Hal ini sejalan dengan pandangan H. Harris dalam bukunya, “Pembaharuan Hukum Acara Pidana yang terdapat dalam HIR – Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN), Jakarta : Binacipta, 1978, Cet 1, hlm, 191”, yang menyatakan : “Prinsip dari Habeas Corpus menciptakan gagasan untuk memberikan hak dan kesempatan kepada orang yang sedang dibatasi atau dirampas kemerdekaanya untuk menguji kebenaran upaya paksa yang dilakukan oleh kepolisian, kejaksaan ataupun kekuasaan lainnya”
  • Bahwa praperadilan dalam KUHAP di dasari pada semangat untuk melindungi Hak Asasi Manusia dalam pelaksanaan sistem peradilan pidana, yang dengan tegas dijadikan landasan filosofis (philosofische grondslag) pembentukan KUHAP. Hal ini sebagaimana tentang dalam konsideran menimbang hurup a KUHAP, yang dikutip sebagi berikut : “Bahwa negara Republik Indonesia adalah negara hukum berdasarkan Pancasila dan undang-undang Dasar 1945 yang menjunjung tinggi hak asasi manusia……..”
  • Bahwa selain bertujuan untuk melindungi Hak Asasi Manusia (HAM), Praperadilan ini juga berfungsi untuk mencegah kesewenanganwenangan yang dilakukan oleh penyidik dalam mendapatkan alat bukti demi menghormati hak-hak seseorang dan sesuai dengan perinsip Exclusionary Rules. Dimana prisnip ini adalah: “One of the most important exception to the exclusionary rule is the exception for tangible evidence. If the police discover tangible evidence based on statements obtained in violation of miranda, the prosecution may be able to use that evidence against the defendant at trial”
  • Bahwa sadar akan pentingnya perlindungan hak asasi manusia bagi Tersangka yang dikenai upaya paksa secara tidak sah, maka KUHAP juga mengatur selain melalui Praperadilan, Tersangka juga diberikan hak lain sebagaimana ditentukan dalam Pasal 99 ayat (1) dan (2) KUHAP yang dikutip sebagai berikut :
  • Tersangka, terdakwa atau terpidana berhak menuntut ganti kerugian karena ditetapkan, ditahan, dituntut dan diadili atau dikenakan tindakan lain, tanpa alasan yang berdasarkan undangundang atau akrean kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan;
  • Tuntutan ganti kerugian oleh tersangka atau ahli warisnya atas penangkapan atau penahanan serta tindakan lain tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orang atau hukum yang diterapkan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yang perkaranya tidak diajukan kepengadilan negeri, diputus di sidang praperadilan sebagaimana dimaksud dalam pasal 77
  • Bahwa upaya perlindungan bagi Tersangka di dalam KUHAP seperti tersebut diatas, dibuat dengan gagasan untuk mempertahankan harkat martabat manusia, yang berpotensi dilanggar akibat adanya kekeliruan, ketidak cermatan, kelalaian, atau bahkan kesewenangwenangan dari penyidik atau penuntut umum dalam penggunaan upaya paksa
  • Bahwa mendasari ketentuan KUHAP tersebut, dalam hal ini Pemohon telah dikenai upaya paksa secara berlebihan oleh Termohon, yang dirasakan secara nyata telah melanggar hak asasi pemohon sebagai warga negara yang merdeka, namun kemerdekaan itu telah dirampas oleh Termohon ketika : Pemohon ditetapkan sebagai tersangka tanpa melalui prosedur hukum acara yang benar. Bahkan, tindak pidana yang disangkakan kepada Pemohon adalah tindak pidana yang dibuat-buat oleh Termohon dikarenakan diduga mencuri ditanah Milik sendiri serta mencuri Tanaman yang ditanam oleh Saudara Kandung Pemohon sendiri, Akan tetapi, Pemohon tetap dipaksakan sebagai Tersangka, dengan tanpa diundang dalam proses gelar perkara Penetapan Tersangka bahkan secara terang-terangan Termohon menyampaikan kepada kuasa hukum jika kita akan coba-coba untuk melanjutkan perkara Pemohon hingga nanti sampai disidangkan.
  • Bahwa melihat kondisi tersebut diatas, proses penyidikan yang dilakukan oleh Termohon, Pemohon yakini tidak sesuai dengan Peraturan Kepala kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2019 tentang penyidikan Tindak Pidana, yang tidak lagi menggunakan frase “bukti permulaan “ atau “Bukti permulaan yang cukup”, atau” bukti yang cukup” untuk memberikan pengertian Tersangka, tetapi dalam Pasal 1 angka 9 PERKAP No. 6 tahun 2019 disebutkan : “ Tersangka adalah seseorang yang karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan “ 2 (dua) alat bukti yang sah didukung barang bukti ” patut diduga sebagai pelaku tindak pidana
  • Bahwa penyelidikan, juga sebagai sarana untuk mencari dan mendapatkan alat bukti, jika perkaranya ditingkatkan ke tahap Penyidikan. Untuk menentukan, apakah hasil penyelidikan dapat ditingkatkan ke tahap penyidikan, berdasarkan Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor: 6 Tahun 2019 Tentang Penyidikan Tindak Pidana (PERKAP No. 6 Tahun 2019), wajib dilaksanakan gelar perkara sebagaimana diatur dalam Pasal 9 PERKAP No. 6 Tahun 2019, dengan ketentuan, sebagai berikut: Ayat(1): Hasil Penyelidikan yang telah dilaporkan oleh tim penyelidik, wajib dilaksanakan gelar perkara untuk menentukan peristiwa tersebut diduga: a. tindak pidana; atau b. bukan tindak pidana. Ayat (2): Hasil gelar perkara yang memutuskan: a. merupakan tindak pidana, dilanjutkan ke tahap penyidikan; b. bukan merupakan tindak pidana, dilakukan penghentian penyelidikan; dan c. perkara tindak pidana bukan kewenangan Penyidik Polri, laporan dilimpahkan ke instansi yang berwenang. Ayat (3): Dalam hal atasan Penyidik menerima keberatan dari pelapor atas penghentian penyelidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, dilakukan gelar perkara untuk menentukan kegiatan penyelidikan dapat atau tidaknya ditingkatkan ke tahap penyidikan; memperhatikan, bahwa selanjutnya sebagai sarana untuk mencari dan mendapatkan alat bukti, dilakukan dalam tahap penyidikan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 angka 2 KUHAP yang menyatakan: Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undangundang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya. Ketentuan dalam Pasal 1 angka 2 KUHAP dapat disimpulkan, bahwa maksud dan tujuan dari Penyidikan, adalah untuk mencari serta mengumpulkan bukti, membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi, dan guna menemukan tersangkanya. Namun, untuk menetapkan Tersangkanya, harus didasarkan ketentuan dalam Pasal 25 PERKAP No. 6 Tahun 2019, yaitu: Ayat (1): Penetapan tersangka berdasarkan paling sedikit 2 (dua) alat bukti yang didukung barang bukti; Ayat (2): Penetapan tersangka sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilaksanakan melalui mekanisme gelar perkara, kecuali tertangkap tangan.
  • . Bahwa yang dimaksud Gelar Perkara berdasarkan Pasal 1 angka 24 PERKAP No. 6 Tahun 2019: Gelar Perkara adalah kegiatan penyampaian penjelasan tentang proses penyelidikan dan penyidikan oleh Penyidik kepada peserta gelar dan dilanjutkan diskusi kelompok untuk mendapatkan tanggapan/masukan/koreksi guna menghasilkan rekomendasi untuk menentukan tindak lanjut proses penyelidikan dan penyidikan. Berdasarkan pengertian mengenai Gelar Perkara tersebut, dapat disimpulkan, bahwa Gelar Perkara harus dilakukan dihadapan beberapa pihak dan merupakan diskusi kelompok; Menimbang, bahwa berdasarkan Peraturan Kepala Badan Reserse Kriminal Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor: 4 Tahun 2014 Tentang Standar Operasional Prosedur Pengawasan Penyidikan Tindak Pidana (PERKABA No. 4 tahun 2014) dalam Lampiran huruf C. Standar Operasional Prosedur Gelar Perkara Biasa, pada Nomor: 3 huruf g tentang Mekanisme Gelar Perkara, disebutkan, bahwa Tahap pelaksanaan gelar meliputi: - pembukaan gelar perkara oleh pimpinan gelar perkara; - paparan tim penyidik tentang pokok perkara, pelaksanaan penyidikan, dan hasil penyidikan yang telah dilaksanakan; - tanggapan para peserta gelar perkara; - diskusi permasalahan yang terkait dalam penyidikan perkara; dan - kesimpulan gelar perkara
  • Bahwa berdasarkan Lampiran PERKABA No. 4 tahun 2014 huruf C, disebutkan: SOP Gelar Perkara Biasa Bertujuan sebagai pedoman standar dalam melakukan langkah-langkah Gelar Perkara Biasa yang terukur, jelas, efektif dan efisien, sehingga dapat dipertanggungjawabkan secara yuridis dan prosedur serta terwujudnya pola tindak yang sama bagi penyidik/penyidik pembantu, lebih lanjut lagi, berdasarkan Pasal 32 ayat (2) PERKAP No. 6 Tahun 2019, disebutkan: Pelaksanaan Gelar Perkara biasa dapat mengundang fungsi pengawasan dan fungsi hukum Polri. Sedangkan berdasarkan Pasal 16 ayat (3) PERKABA No. 4 tahun 2014: Gelar perkara biasa dipimpin oleh Ketua Tim Penyidik atau Atasan Penyidik dengan menghadirkan Pengawas Penyidikan dan pejabat terkait sesuai dengan jenis gelar yang dilaksanakan.

Bahwa mendasari hal tersebut di atas, oleh karenanya Praperadilan sebagai sarana pengawasan horizontal oleh hakim menjadi penting untuk melindungi harkat martabat manusia, khususn

Pihak Dipublikasikan Ya