Sistem Informasi Penelusuran Perkara
PENGADILAN NEGERI PRAYA
INFORMASI DETAIL PERKARA



Nomor Perkara Pemohon Termohon Status Perkara
3/Pid.Pra/2025/PN Pya HAJI MASRAH KEPALA KEPOLISIAN RI Cq. KEPALA KEPOLISIAN DAERAH NUSA TENGGARA BARAT Cq. KEPALA KEPOLISIAN RESOR LOMBOK TENGAH Persidangan
Tanggal Pendaftaran Rabu, 09 Apr. 2025
Klasifikasi Perkara Sah atau tidaknya penetapan tersangka
Nomor Perkara 3/Pid.Pra/2025/PN Pya
Tanggal Surat Rabu, 09 Apr. 2025
Nomor Surat -
Pemohon
NoNama
1HAJI MASRAH
Termohon
NoNama
1KEPALA KEPOLISIAN RI Cq. KEPALA KEPOLISIAN DAERAH NUSA TENGGARA BARAT Cq. KEPALA KEPOLISIAN RESOR LOMBOK TENGAH
Kuasa Hukum Termohon
Petitum Permohonan
Adapun yang menjadi alasan permohonan pemohon adalah sebagai berikut :
I. DASAR HUKUM PERMOHONAN PRAPERADILAN
a. Tindakan upaya paksa, seperti penetapan tersangka, penangkapan, penggeledahan, penyitaan,  penahanan, dan penuntutan yang dilakukan dengan melanggar peraturan perundang-undangan pada dasarnya merupakan suatu tindakan perampasan hak asasi manusia. Menurut Andi Hamzah (1986:10) praperadilan merupakan tempat mengadukan pelanggaran Hak Asasi Manusia, yang memang pada kenyataannya penyusunan KUHAP banyak disemangati dan berujukan pada Hukum Internasional yang telah menjadi International Customary Law. Oleh karena itu, Praperadilan menjadi satu mekanisme kontrol terhadap kemungkinan tindakan sewenang-wenang dari penyidik atau penuntut umum dalam melakukan tindakan tersebut. Hal ini bertujuan agar hukum ditegakkan dan perlindungan hak asasi manusia sebagai tersangka/terdakwa  dalam pemeriksaan penyidikan dan penuntutan. Di samping itu, praperadilan bermaksud sebagai pengawasan secara horizontal terhadap  hak-hak tersangka/terdakwa dalam pemeriksaan pendahuluan (vide Penjelasan Pasal 80 KUHAP). Berdasarkan pada nilai itulah penyidik atau penuntut umum dalam melakukan tindakan penetapan tersangka, penangkapan, penggeledahan, penyitaan,  penahanan, dan penuntutan agar lebih mengedepankan asas dan prinsip kehati-hatian dalam menetapkan seseorang menjadi tersangka.
b. Bahwa sebagaimana diketahui Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Pasal 1 angka 10 menyatakan :
Praperadilan adalah wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini, tentang:
1. Sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka;
2. Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan;
3. Permintaan ganti kerugian, atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan.”
c. Bahwa selain itu yang menjadi objek praperadilan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 77 KUHAP diantaranya adalah:
Pengadilan negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini tentang:
1. sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan;
2. ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.
d. Dalam perkembangannya pengaturan Praperadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 10 Jo. Pasal 77 KUHAP, sering terjadi tidak dapat menjangkau fakta perlakuan aparatur penegak hukum yang nyata-nyata merupakan pelanggaran hak asasi seseorang, sehingga yang bersangkutan tidak memperoleh perlindungan hukum yang nyata dari Negara. Untuk itu perkembangan yang demikian melalui dapat diakomodirnya mengenai sah tidaknya penetapan tersangka dan sah tidaknya penyitaan telah diakui merupakan wilayah kewenangan praperadilan, sehingga dapat meminimalisasi terhadap perlakuan sewenang-wenang oleh aparat penegak hukum. Dalam kaitan perubahan dan perkembangan hukum dalam masyarakat yang demikian, bukanlah sesuatu yang mustahil terjadi dalam praktik sistem hukum di negara mana pun apalagi di dalam sistem hukum common law, yang telah merupakan bagian dari sistem hukum di Indonesia. Peristiwa hukum inilah yang menurut (alm) Satjipto Rahardjo disebut ”terobosan hukum” (legal-breakthrough) atau hukum yang prorakyat (hukum progresif) dan menurut Mochtar Kusumaatmadja merupakan hukum yang baik karena sesuai dengan perkembangan nilai-nilai keadilan yang hidup dan berkembang dalam masyarakat. Terobosan hukum dan hukum yang baik itu merupakan cara pandang baru dalam memandang fungsi dan peranan hukum dalam pembangunan nasional di Indonesia. Dengan demikian hukum bukan hanya memiliki aspek normatif yang diukur dari kepastiannya melainkan juga memiliki aspek nilai (values) yang merupakan bagian dinamis aspirasi masyarakat yang berkembang dan terkini.
e. Bahwa selain itu telah terdapat beberapa putusan pengadilan yang memperkuat dan melindungi hak-hak tersangka, sehingga lembaga praperadilan juga dapat memeriksa dan mengadili keabsahan penetapan tersangka seperti yang terdapat dalam perkara berikut :
1. Putusan Pengadilan Negeri Bengkayang No. 01/Pid.Prap/2011/PN.BKY tanggal 18 Mei 2011
2. Putusan Mahkamah Agung No. 88 PK/PID/2011 tanggal 17 Januari 2012
3. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No. 38/Pid.Prap/2012/Pn.Jkt.Sel tanggal 27 november 2012
4. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No. 04/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel tanggal 15 Februari 2015
5. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No. 36/Pid.Prap/2015/Pn.Jkt.Sel tanggal 26 Mei 2015
6. Dan lain sebagainya
f. Bahwa melalui Putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014 tanggal 28 April 2015 memperkuat diakuinya lembaga praperadilan juga dapat memeriksa dan dan mengadili keabsahan penetapan tersangka, seperti pada kutipan putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014 sebagai berikut :
Mengadili,
Menyatakan :
1. Mengabulkan Permohonan untuk sebagian :
• [dst]
• [dst]
• Pasal 77 huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang hukum acara pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1981, Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai termasuk Penetapan Tersangka, Penggeledahan dan Penyitaan;
• Pasal 77 huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang hukum acara pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1981, Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai termasuk Penetapan Tersangka, Penggeledahan dan Penyitaan;
g. Dengan demikian jelas bahwa berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014 tanggal 28 April 2015 bahwa Penetapan Tersangka merupakan bagian dari wewenang Praperadilan. Mengingat Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final dan mengikat, maka sudah tidak dapat diperdebatkan lagi bahwa semua harus melaksanakan Putusan yang telah berkekuatan hukum tetap sejak diucapkan.
 
 
 
II. ALASAN PERMOHONAN PRAPERADILAN
A. FAKTA-FAKTA
1. Bahwa  Termohon menerima Laporan Pengaduan dari saudara MAKMUN pada tanggal 11 November 2023 tentang dugaan tindak pidana pemalsuan suarat jual beli atas tanah sebagaimana dalam pasal 263 Ayat (1) dan Ayat (2) KUHP;
2. Bahwa Termohon mengerluarkan surat perintah tugas Nomor Sp. Gas/ 610/ XI/ RES.1.9/ 2023/ Reskrim, tanggal 15 November 2023 dan Surat Perintah Penyelidikan Nomor : Sp. Lidik/ XI/ RES.1.9/ 2023/ Reskrim, tanggal 15 November 2023;
3. Bahwa pada tanggal  9 Januri 2024 telah dilakukan pemanggilan atas nama Haji Mansur Ihsan alias Amaq Nas dalam rangka melaksanakan mediasi terkait dengan permasalahan dugaan tindak pidana pemalsuan surat jual beli atas tanah pada hari kamis 11 Januari 2024 di ruang unit Pidum Satreskrim Polres Lombok Tengah;
4. Bahwa Pemohon menemukan fakta pada surat dari Termohon yangkemudian tidak jelas didasarkan pada surat Perintah penyidikan yang mana Pemohon melalui proses penyidikan dan Penetapan Tersangka?, karena atas perkara tersebut termohon telah mencantumkan (dua) nomor dan atau bulan yang berbeda dalam Surat Perintah Penyidikan yakni pada Surat Panggilan Tersangka ke-1 Nomor S. Pgl/ 105/ III/ RES. 1.9/ 2025/ Reskrim yang ditujukan kepada Tersangka Haji Masrah alias Amaq Nas, disebutkan salah satu dasarnya adalah Surat Perintah Penyidikan Nomor: SP. Sidik/15.a/III/RES.1.9/2025/Reskrim, Tanggal 13 Januari 2025; sedangkan terdapat perbedaan pada nomor dan atau Bulan pada dasar Surat Ketetapan Pemohon sebagai Tersangka disebutkan dasarnya adalah Surat Perintah Penyidikan Nomor:SP.Sidik/15.a/I/RES.1.9/2025/Reskrim, Tanggal 13 Januari 2025;
5. Bahwa Penetapan Pemohon sebagai Tersangka oleh Termohon sebagaimana dimaksud dalam Surat Ketetapan Nomor: S.Tap/60/III/RES.1.9/2025/Reskrim tentang Penentuan/Penetapan Tersangka tanggal 13 Maret 2025 telah cacat formil karena penetapan tersebut dibuat berdasarkan Penyidikan yang cacat hukum/cacat Yuridis;
6. Bahwa Pemohon menemukan fakta yang menjadi dasar dilakukan penyidikan apakah didasarkan pada penyidikansebelumnya sesuai dengan fakta bahwa pemohon pernah dipanggil untuk permintaan keterangan yang dilakukan atas dasar laporan pengaduan oleh saudara Makmun tanggal 11 November 2023 atau apakah didasarkan pada laporan polisi Nomor: LP/ B/ 348/ XII/ 2024/ SPKT/ Polres Lombok Tengah/ Polda Nusa Tenggara Barat Tanggal 30 Desember 2024 ?sebagai mana dicantumkan dalam Surat panggilan pemohon sebagai tersangka dan ketetapan pemohon sebgai tersangka;
7. Bahwa pada tanggal 22 April 2024 telah dilakukan pemanggilan kembali kepada Pemohon untuk memberikan klarifikasi terkait adanya permasalahan dugaan tindak pidana pemalsuan surat jual beli atas tanah pada hari kamis 25 April 2024 di Pidum Satrekrim Polres Lombok Tengah;
8. Bahwa dalam proses penyelidikan yang dilakukan oleh Termohon di Unit Pidum Satreskrim Polres Lombok Tengah, Termohon melakukan penyitaan terhadap barang bukti surat asli yang menjadi objek laporan yang merupakan milik dari pemohon tanpa didasarkan pada prosedur hukum sebagaimana penyitaan yang diatur menurut KUHAP;
9. Bahwa barang bukti surat yang diduga palsu milik pemohon yakni Surat keterangan jual beli tertanggal 14 Juli 1980.
10. Bahwa faktanyatermohon tidak pernah mengeluarkan surat perintah penyitaan atau membuatkan berita acara penyitaan terhadap barang bukti surat milik pemohon, sehingga menurut prosedur hukum penyitaan yang dilakukan oleh termohon tidaklah sah;
11. Bahwa pada faktanya Pemohon ragu terhadap terpenuhinya 2 (dua) alat bukti yang dimiliki oleh Termohon dalam hal menetapkan Pemohon sebagai Tersangka dalam dugaan Tindak Pidana Pemalsuan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 263 Ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana oleh Termohon kepada Pemohon kepada Pemohon hanya berdasar pada Keterangan Pelapor, 1 keterangan ahli hukum,tidak didukung saksi fakta,  dan 1 dokumen, tanpa didasari uji Forensik terhadap dokumen dan tanda tangan dalam objek Surat yang dimaksud;
12. Bahwa mengenai Uji Forensik, jika yang dimaksudkan adalah isi surat itu palsu maka dalam hal ini pihak pelapor menandatangani surat dimaksud dan jika yang di anggap palsu adalah tanda tangan yang ada dalam surat tersebut seharusnya Termohon melakukan uji forensik terhadap tanda tangan yang di anggap palsu, namun dalam hal ini Termohon tidak melakukan uji forensik terhadap tanda tangan dimaksud, apakah surat yang menjadi objek pemalsuan telah dapat dibuktikan?, sementara Termohon belum melakukan Uji Forensik terhadap objek surat tersebut, bagaimana mungkin Termohon dapat menyimpulkan bahwa surat yang dimaksud adalah surat palsu apalagi Termohon belum dapat menyimpulkan terhadap hal apa surat tersebut dikatakan palsu, sehingga penetapan tersangka yang dilakukan oleh Termohon dalah tidak sah, pemohon merasa penetapan oleh termohon adalah suatu hal yang dipaksakan tanpa dapat membuktikan surat itu adalah surat palsu yang dimaksud;.
13. Bahwa kemudian pada tanggal 13 Maret 2025 pemohon ditetapkan sebagai tersangka berdasarkan Surat Ketetapan  Nomor: S. Tap/60/III/RES.1.9/2025/Reskrim tentang Penentuan/Penetapan Tersangka.
14. Bahwa Pemohon menemukan fakta di dalam point Dasar pertimbangan Surat Ketetapan  Nomor: S. Tap/60/III/RES.1.9/2025/Reskrim tentang Penentuan/Penetapan Tersangka disebutkan sebagai berikut : ’’ Bahwa berdasarkan hasil penyidikan terhadap saksi-saksi dan alat bukti yang berkaitan dengan tindak pidana penipuan dan atau penggelapan dalam rangka penentuan/penetapan tersangka maka dipandang perlu mengeluarkan surat ketetapan ini’’, sedangkan didalam point Dasarmemperhatikan, Memutuskan dan Menetapkanmenyebutkan : ’’Bahwa hasil pelaksanaan gelar perkara tindak pidana pemalsuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 263 ayat (1) KUHP yang dilaksanakan pada hari Selasa, Tanggal 11 Maret 2025 tentang penentuan/penetapan tersangka’’.  Dalam hal ini terdapat ketidaksesuaian antara point Dasar pertimbangan dan point Dasar memperhatikan, Memutuskan, dan Menetapkan Tersangka didalam surat ketetapan tersebut sehingga menimbulkan kekaburan dan cacat formil terhadap penetapan tersangka pemohon, terlebih pemohon merasa tindakan tersebut bertentangan dengan asas kepastian hukum karena Penetapan tersangka yang cacat secara formil.
 
B. TENTANG HUKUMNYA
1. Penyidikan 
-Bahwa Surat Perintah Penyidikan Nomor:SP.Sidik/15.a/I/RES.1.9/2025/Reskrim, Tanggal 13 Januari 2025 dan atauNomor: SP. Sidik/15.a/III/RES.1.9/2025/Reskrim, Tanggal 13 Januari 2025 yang dikelurkan Termohon untuk dugaan pemalsuan Pemohon telah cacat hukum karena:
a. Bahwa tidak jelas didasarkan pada surat penyidikan yang mana ?, karena atas perkara tersebut termohon telah mencantumkan (dua) nomor dan atau dua bulan yang berbeda dalamSurat Perintah Penyidikan;
b. Bahwa dasar dilakukan penyidikan juga tidak jelas apakah didasarkan pada penyidikan  sebelumnya sesuai dengan fakta bahwa pemohon pernah dipanggil untuk permintaan keterangan yang dilakukan atas dasar laporan pengaduan oleh saudara Makmun tanggal 11 November 2023atau didasarkan laporan polisi Nomor: LP/ B/ 348/ XII/ 2024/ SPKT/ Polres Lombok Tengah/ Polda Nusa Tenggara Barat. Tanggal 30 Desember 2024 sebagai mana dicantumkan dalam Surat panggilan pemohon sebagai tersangka dan ketetapan pemohon sebgai tersangka;
Bahwa dengan tidak jelasnya surat perintah penyidikan yang dijadikan dasar penyidikan dan tidak jelasnya suarat perintah penyidikan yang dijadikan dasar penyidikan dan tidak jelas laporan polisi yang menjadi dasar untuk penyidikan sebagamana disebutkan dia atas, menunjukan kearoganan Termohon dan membuktikan bahwa penyidikan yang dilakukan oleh termohon telah cacat hukum dan cacat yuridis;
C. Bahwa serangkaian penyidikan yang dilakukan oleh termohon, ketika permasalahan yang disidik harusnya melalui tahapan penyelesaian hukum adminidtrasi dan atau hukum perdata, hal mana terbukti dengan terbitnya Sertipikat Hak Milik (SHM) atas nama Pemohon pada tahun 1995 dengan nomor hak milik 164dengan nama pemegang hak H Mansur alias H Mansur Ihsan alias yang sebenarnya adalah Haji Masrah alias Amaq Nas;
D. Bahwa penyidikan yang dilakukan oleh termohon telah bertentangan dengan pasal 109 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) sebagaiman telah diuji matril oleh Mahkamah Konstitusi dengan putusan nomor: 130/PPO-XIII/ 2015 yang berbunyi:
Menyatakan Pasal 109 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, tambahan Lembaran Negara Nomor 3209) bertentangan dengan undang-undang dasar republik indonesia tahun 1945 secara bersyarat dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang frasa ”penyidik meberitahukan hal  itu kepada penuntut umum” tidak dimaknai ” Penyidik wajib meberitahukan dan menyerahkan surat perintah dimulainya penyidikan kepada penuntut umum, terlapor, dan korban/pelapor dalam waktu paling lambat tujuh hari setelah dikelurkanya surat perintah penyidikan”
Karena sampai saat ini Pemohon sebagai Terlapor dan orang yang dikemudian ditetapkan sebagai Tersangka, Termohon tidak menyampaikan Surat Perintah Dimulainya Penyidikan (SPDP) kepada Pemohn..
2. PenetapanTersangka dan Alat Bukti
a. Bahwa Penetapan Pemohon sebagai Tersangka oleh Termohon sebagaimana dimaksud dalam Surat Ketetapan Surat Ketetapan  Nomor: S.Tap/60/III/RES.1.9/2025/Reskrim tentang Penentuan/Penetapan Tersangka tanggal 13 Maret 2025 telah cacat Hukum atau Yuridis karena di dalam point pertimbangan Surat Ketetapan  Nomor: S. Tap/60/III/RES.1.9/2025/Reskrim tentang Penentuan/Penetapan Tersangka disebutkan sebagai berikut : ’’ Bahwa berdasarkan hasil penyidikan terhadap saksi-saksi dan alat bukti yang berkaitan dengan tindak pidana penipuan dan atau penggelapan dalam rangka penentuan/penetapan tersangka maka dipandang perlu mengeluarkan surat ketetapan ini’’, sedangkan didalam point memperhatikan menyebutkan : ’’Bahwa hasil pelaksanaan gelar perkara tindak pidana pemalsuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 263 ayat (1) KUHP yang dilaksanakan pada hari Selasa, Tanggal 11 Maret 2025 tentang penentuan/penetapan tersangka’’.  Dalam hal ini terdapat ketidaksesuaian antara point pertimbangan dan point memperhatikan didalam surat ketetapan tersebut sehingga menimbulkan kekaburan dan cacat formil terhadap penetapan tersangka pemohon, terlebih pemohon merasa tindakan tersebut bertentangan dengan asas kepastian hukum karena Penetapan tersangka yang cacat secara formil.
b. Bahwa Penetapan Pemohon sebagai Tersangka oleh Termohon sebagaimana dimaksud dalam Surat Ketetapan Surat Ketetapan  Nomor: S.Tap/60/III/RES.1.9/2025/Reskrim tentang Penentuan/Penetapan Tersangka tanggal 13 Maret 2025 telah cacat Yuridis karena penetapan tersebut dibuatberdasarkan Penyidikan yang cacat hukum/cacat Yuridis, sebagaimanadiuraikan dalam point 1 diatas. 
Bahwa berdasarkan ketentuan-ketentuan berikut :
- Pasal 1 angka 5 KUHAP :
“Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan
menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna
menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang
diatur dalam undang-undang”
- Pasal 1 angka 2 yang berbunyi :
“Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurutcara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari sertamengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindakpidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.”
- Pasal 1 angka 14 KUHAP :
“Tersangka adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya
berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana”
Dari pengertian yang telah ditentukan oleh KUHAP diatas , maka untukmencapai proses penentuan Tersangka, haruslah terlebih dahulu dilakukanserangkaian tindakan untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yangdiduga sebagai tindak pidana (penyelidikan). 
Untuk itu, diperlukanketerangan dari pihak-pihak yang terkait dan bukti-bukti awal yang dapatdijalin sebagai suatu rangkaian peristiwa sehingga dapat ditentukan adatidaknya suatu peristiwa pidana.Setelah proses tersebut dilalui, maka dilakukan rangkaian tindakan untukmencari serta mengumpulkan bukti agar terang suatu tindak pidana yangterjadi. Untuk itu kembali lagi haruslah dilakukan tindakan-tindakan untukmeminta keterangan dari pihak-pihak yang terkait dan pengumpulan bukti-bukti sehingga peristiwa pidana yang diduga sebelumnya telah menjadijelas dan terang, dan oleh karenanya dapat ditentukan siapa tersangkanya.Rangkainprosedurtersebutmerupakancaraatauprosedurhukum yangwajibditempuhuntukmencapai proses penentuan tersangka. Adanyaprosedurtersebutdimaksudkan agar tindakanpenyelidik/penyidiktidaksewenang-wenangmengingatseseorangmempunyaihakasasi yang harusdilindungi.
Berdasarkanpendapat Guru Besar Hukum Pidana Indonesia, Eddy OSHiariej, dalambukunya yang berjudul Teori dan Hukum Pembuktian, untukmenetapkanseseorangsebagai TERSANGKA, Termohonharuslahmelakukannyaberdasarkan “buktipermulaan”. Eddy OS Hiariej kemudianmenjelaskanbahwaalatbukti yang dimasudkan di siniadalahsebagaimanayang tercantumdalam Pasal 184 KUHAP, apakahituketerangansaksi,keteranganahli, surat, keteranganterdakwaataukahpetunjuk. Eddy OSHiariej berpendapat bahwa kata-kata ‘bukti permulaan’ dalam Pasal 1 butir14 KUHAP, tidak hanya sebatas alat bukti sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 184 KUHAP, namun juga dapat meliputi barang bukti yang dalamkonteks hukum pembuktian universal dikenal dengan istilah physicalevidence atau real evidence. Selanjutnya untuk menakar bukti permulaan,tidaklah dapat terlepas dari pasal yang akan disangkakan kepadatersangka. Pada hakikatnya pasal yang akan dijeratkan berisi rumusan delikyang dalam konteks hukum acara pidana berfungsi sebagai unjuk bukti.Artinya, pembuktian adanya tindak pidana tersebut haruslah berpatokankepada elemen-elemen tindak pidana yang ada dalam suatu pasal.
Dan dalam rangka mencegah kesewenangwenangan penetapan seseorangsebagai tersangka ataupun penangkapan dan penahanan, maka setiapbukti permulaan haruslah dikonfrontasi antara satu dengan lainnyatermasuk pula dengan calon tersangka. Mengenai hal yang terakhir ini,dalam KUHAP tidak mewajibkan penyidik untuk memperlihatkan bukti yangada padanya kepada Tersangka, akan tetapi berdasarkan doktrin, hal inidibutuhkan untuk mencegah apa yang disebut dengan istilah unfair
prejudice atau persangkaan yang tidak wajar.Hal tersebut sangat terkait dengan ranah hukum pembuktian, olehkarenanya perlu dijelaskan lebih lanjut perihal pembuktian yang ditulisdalam buku Eddy OS Hiariej tersebut di atas, bahwa dalam konteks hukumpidana, pembuktian merupakan inti dari persidangan perkara pidana, karena
yang dicari dalam hukum pidana adalah kebenaran materiil. Kendatipundemikian pembuktian dalam perkara pidana sudah dimulai sejak tahappenyelidikan untuk mencari dan menemukan peristiwa yang diduga sebagaitindak pidana guna dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan. Pada tahapini sudah terjadi pembuktian, dengan tindak penyidik mencari barang bukti,maksudnya guna membuat terang suatu tindak pidana serta menentukan atau menemukan tersangkanya. Dengan demikian maka dapat dimengerti,bahwa pembuktian dilihat dari perspektif hukum acara pidana yakniketentuan yang membatasi siding pengadilan dalam usaha mencari danmempertahankan kebenaran, baik oleh hakim, penuntut umum, terdakwadan penasehat hukum, kesemuanya terikat pada ketentuan dan tata cara,serta penilaian terhadap alat-alat bukti yang ditentukan oleh undang-undang. Tidak dibenarkan untuk melakukan tindakan yang leluasa sendiridalam menilai alat bukti, dan tidak boleh bertentangan dengan undang-undang.
Dalam perkara pidana, pembuktian selalu penting dan krusial. Pembuktianmemberikan landasan dan argumen yang kuat kepada penuntut umumuntuk mengajukan tuntutan. Pembuktian dipandang sebagai sesuatu yangtidak memihak, objektif dan memberikan informasi kepada hakim untukmengambil kesimpulan dari suatu kasus yang sedang disidangkan. Terlebihdalam perkara pidana, pembuktian sangatlah esensi karena yang dicaridalam perkara pidana adalah kebenaran materiil. Berbeda denganpembuktian perkara lainnya, pembuktian dalam perkara pidana sudahdimulai dari tahap pendahuluan, yakni diawali pada tahap penyelidikan danpenyidikan. Pada tahap pendahuluan/penyelidikan tersebut, tata caranyajauh lebih rumit bila dibandingkan dengan hukum acara lainnya.Dari kedua ketentuan dan dokrin tersebut diatas dapat disimpulkan bahwapenyelidikan dilakukan untuk menentukan apakah ada tindak pidananya danbaru dapat ditingkatkan penyidikan sudah dapat ditentukan (diduga)pelakunya. Apabila suatu perkara sudah ditingkatkan menjadi penyidikanberarti bahwa sudah dapat ditentukan tindak pidana yang disangkakan dansiapa yang akan dijadikan sebagai tersangkanya.Apabila pengertian tersebut diatas dihubungkan dengan PenetapanTersangka yang dikeluarkan Termohon, jelas bahwa Ketetapan Termohonyang menetapkan Pemohon sebagai Tersangka tidak belum dapatditentukan tindak pidananya karena dalam penetapan Termohon tidak memeriksa semua saksi yang bertanda tangan pada objek laporan  sehingga memerlukan uji forensik terhadap objek laporan. Apakah isi surat itu palsu?  maka dalam hal ini apakah pihak pelapor menandatangani surat yang dimaksud ? dan jika yang di anggap palsu adalah tanda tangan yang ada dalam surat tersebut seharusnya Termohon melakukan uji forensik terhadap tanda tangan yang di anggap palsu, Termohon dalam menetapkan tersangka dalam dugaan Tindak Pidana Pemalsuan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 263 Ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana oleh Termohon Satreskrim POLRES LOMBOK TENGAH kepada Pemohon hanya berdasar pada Keterangan Pelapor, 1 keterangan ahli hukum, dan 1 dokumen, tdak didukung saksi fakta, juga tanpa didasari uji Forensik terhadap dokumen dan tanda tangan dalam objek Surat yang dimaksud berupa Surat Keterangan Jual Beli tertanggal 14 Juli 1980, hal ini berdasar pada surat Ketetapan tersangka nomor S.Tap/60/RES 1.9/2025/Reskrim dan panggilan sebagai Tersangka oleh Termohon kepada Pemohon dengan Nomor S.pog/195/III/RES.1,9/2025/Reskrim tertanggal 17 Maret 2025. Penekanan pemohon mengenai alat bukti termohon adalah langkah pembuktian yang dilakukan oleh Termohon, apakah surat yang menjadi objek pemalsuan telah dapat dibuktikan?, sementara Termohon belum melakukan Uji Forensik terhadap objek surat tersebut, bagaimana mungkin Termohon belum dapat menyimpulkan bahwa surat yang dimaksud adalah surat palsu apalagi Termohon belum dapat menyimpulkan terhadap hal apa surat tersebut dikatakan palsu. Sebagaimana bentuk bentuk surat palsu, menurut R.Soesilo, a). Membuat surat palsu, membuat isinya bukan semestinya (tidak benar), b). Memalsu surat, mengubah surat, sedemikian rupa sehingga isinya menjadi lain dasri isi yang asli. c). Memalsukan tanda tangan juga termasuk pengertian memalsukan surat. D) penempelan Foto orang lain dari pemegang yang berhak.jika yang dimaksudkan adalah isi surat itu palsu maka dalam hal ini pihak pelapor menandatangani surat dimaksud dan jika yang di anggap palsu adalah tanda tangan yang ada dalam surat tersebut seharusnya Termohon melakukan uji forensik terhadap tanda tangan yang di anggap palsu, namun dalam hal ini Termohon tidak melakukan uji forensik terhadap tanda tangan dimaksud sehingga penetapan tersangka yang dilakukan oleh Termohon adalah tidak sah, pemohon merasa penetapan oleh termohon adalah suatu hal yang dipaksakan tanpa dapat membuktikan surat itu adalah surat palsu.
3. PENYITAAN BARANG BUKTI
a. Bahwa penyitaan yang dilakukan oleh termohon terhadap barang bukti surat yang diduga palsu milik pemohon tidaklah sah, karena tidak didasarkan pada prosedur hukum sebagaimana penyitaan yang diatur menurut KUHAP.
b. Bahwa barang bukti surat yang diduga palsu milik pemohon yakni Surat keterangan jual beli tertanggal 14 Juli 1980.
c. Bahwa pada pasal 75 KUHAP dinyatakan, (1) Berita Acara dibuat untuk setiap tindakan tentang: a). Pemeriksaan Tersangka, b). Penangkapan, c). Penahanan, d). Penggeledahan, e). Pemasukan Rumah, f). Penyitaan Benda, g). Pemeriksaan Surat, h). Pemeriksaan Saksi, i). Pemeriksaan ditempat kejadian, j). Pelaksanaan penetapan dan putusan pengadilan, k). Pelaksanaan tindakan lain sesuai dengan ketentuan dalam undang-undanmg ini.  
d. Bahwa menurut Pasal 1 angka 16 KUHAP, Penyitaan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mengambil alih dan atau menyimpan dibawah penguasaannya benda bergeera atau tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan dan peradilan.
e. Bahwa faktanya termohon tidak pernah mengeluarkan surat perintah penyitaan atau membuatkan berita acara penyitaan terhadap barang bukti surat milik pemohon, sehingga menurut prosedur hukum penyitaan yang dilakukan oleh termohon tidaklah sah,
f. Bahwa faktanya barang bukti surat milik pemohon diminta oleh termohon, dan diserahkan oleh pemohon kepada termohon di Unit Pidum Satreskrim Polres Lombok Tengah sehingga penyitaan barang bukti surat  milik pemohon oleh termohon tidaklah sah menurut Hukum.  
 
Bahwa Dengan demikian berdasarkan seluruh uraian di atas, maka tindakan
atau proses penyidikan yang dilaksanakan oleh Termohon terkaitPenetapan diri Pemohon sebagai Tersangka secara hukum adalah jugatidak sah dan tidak mempunyai kekuatan mengikat. Oleh karena itu,perbuatan Termohon yang menetapkan Pemohon selaku Tersangka tanpaprosedur dan cacat yuridis/bertentangan dengan hukum, telahmengakibatkan kerugian materil dan immaterial yang tidak dapat dihitungdengan uang, namun untuk kepastian hukum dengan ini Pemohonmenentukan kerugian yang diderita adalah sebesar Rp.1.000.000,- (satujuta rupiah).
Bahwa upaya hukum Praperadilan ini kami lakukan semata-mata demimencari kebenaran hukum, dan sebagaimana pendapat dari M. YahyaHarahap, bahwa salah satu fungsi upaya hukum Praperadilan adalahsebagai pengawasan horizontal atas segala tindakan upaya paksa yangdilakukan aparat penegak hukum untuk kepentingan pemeriksaan perkarapidana agar benar-benar tindakan tersebut tidak bertentangan denganperaturan hukum dan perundang-undangan. 
Dan sebagaimana pulapendapat Loebby Loqman, bahwa fungsi pengawasan horizontal terhadapproses pemeriksaan pendahuluan yang dilakukan oleh lembagaPraperadilan tersebut juga merupakan bagian dari kerangka systemperadilan pidana terpadu. Adapun tujuan yang ingin dicapai daripengawasan horizontal dari lembaga Praperadilan tersebut adalah sesuaidengan tujuan umum dibentuknya KUHAP, yaitu untuk menciptakan suatuproses penegakan hukum yang didasarkan pada kerangka due process oflaw. Due process of law pada dasarnyabukansemata-matamengenai ruleof law, akantetapimerupakanunsur yang essensialdalampenyelenggaraanperadilan yang intinyaadalahbahwaiamerupakan “...alaw which hears before it condemns, which proceeds upon inquiry, andrenders judgement only after trial..”. Pada dasarnya yang menjadititiksentraladalahperlindunganhak-hakasasiindividuterhadap arbitrary actionof the goverment. Oleh karenaitu, Praperadilanmemilikiperan yang pentinguntukmeminimalisirpenyimpangan dan penyalahgunaanwewenang (abuseof power) dalampelaksanaan proses penegakan hukum. Agar penegakhukumharushati-hatidalammelakukantindakanhukumnya dan setiaptindakanhukumharusdidasarkankepadaketentuanhukum yang berlaku,dalam arti iaharusmampumenahandirisertamenjauhkandiridaritindakansewenang-wenang. Kita bersamamemahamibahwapenyidikmerupakanpihak yang paling berwenangdalamtahappenyidikankarenamempunyaitugas yang sangat penting pada proses penegakanhukumsehinggadapatmempengaruhijalanselanjutnyadari proses penyelesaiansuatuperkarapidana. Oleh karenanya kami sangat berharap “sentuhan” Hakim YangMulia dalamputusannya agar dapatmenegakkankepastian, keadilan, dankemanfaatanhukumbagiPemohondalamkasus a quoKami menempuhjalaninikarena kami yakinbahwamelalui forum
Praperadilan ini juga dipenuhi syarat keterbukaan (transparancy) danakuntabilitas publik (public accountabiliti) yang merupakan syarat-syarattegaknya sistem peradilan yang bebas dan tidak memihak serta menjunjungtinggi hak asasi manusia. Dengan forum terbuka ini, masyarakat dapat ikutmengontrol jalannya proses pemeriksaan dan pengujian kebenaran danketepatan tindakan penyidik maupun penuntut umum dalam menahanseseorang ataupun dalam hal pembebasan, mengontrol alasan-alasan dandasar hukum hakim Praperadilan yang memerdekakannya.Bahwa apabila teori-teori perihal Praperadilan tersebut di atas dikaitkandengan pandangan Soejono Soekanto mengenai dua fungsi yang dapatdijalankan oleh hukum di dalam masyarakat, yaitu sebagai sarana kontrol (atool of sosial kontrol) dan sebagai sarana untuk melakukan rekayasa sosial(a tool of sosial ingieneering). 
Dengan adanya a tool of social control inimaka pada dasarnya, Praperadilan berfungsi sebagai perlindunganterhadap tindakan yang sewenang-wenang dari para aparat hukum yangpada pelaksanaan tugasnya sering melakukan tindakan yang kurangpantas, sehingga melanggar hak dan harkat manusia. Namun untuk lebihmenjamin pelaksanaan sebuah Praperadilan maka diperlukan sebuahpemahaman yang lebih mendalam tentang Praperadilan terutama dalam masyarakat sehingga lebih mengerti tentang manfaat dan fungsiPraperadilan. Selanjutnya hukum sebagai a tool of social engineering,Praperadilan dapat membawa masyarakat kepada situasi dan kondisihukum yang lebih baik menuju ke arah pembangunan hukum ke depan.Dengan demikian, keberadaan lembaga Praperadilan di dalam KUHAP inibertujuan untuk memberikan perlindungan terhadap hak asasi manusiayang sekaligus berfungsi sebagai sarana pengawasan secara horizontal,atau dengan kata lain, Praperadilan mempunyai maksud sebagai saranapengawasan horizontal dengan tujuan memberikan perlindungan terhadaphak asasi manusia terutama hak asasi tersangka dan terdakwa.
Perlindungan dan jaminan terhadap hak asasi manusia tersebut sudahmerupakan hal yang bersifat universal dalam setiap negara hukum. Karenapengakuan, jaminan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia adalahsalah satu esensi pokok yang menjadi dasar legalitas suatu negara hukum.Hal inilah yang hendak dicapai Pemohon melalui upaya hukum Praperadilan
ini. 
III. PETITUM
Berdasar pada argument dan fakta-fakta yuridis diatas, Pemohon mohon kepada Majelis Hakim Pengadilan Negeri Praya yang memeriksa dan mengadili perkara A Quo berkenan memutus perkara ini sebagai berikut :
1. Menyatakan menerima dan mengabulkan permohonan Pemohon Praperadilan untuk seluruhnya;
2. Menyatakan Surat Perintah Penyidikan yang dilakukan Termohon Nomor: SP. Sidik/15.a/I/RES.1.9/2025/Reskrim, Tanggal 13 Januari 2025 adalah TIDAK SAH dan tidak berdasar atas hukum, dan oleh karenanya penetapan a quo tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
3. Menyatakan Penyidikan yang dilaksanakan oleh Termohon terkait peristiwan dugaan tindak pidana pemasluan adalah TIDAK SAH dan tidak berdasar atas hukum, dan oleh karenanya penetapan a quo tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
4. Menyatakan Surat Ketetapan Tersangka Nomor: S. Tap/60/III/RES.1.9/2025/Reskrim tentang Penentuan/Penetapan Tersangka, Tanggal 13 Maret 2025 yang memutuskan Pemohon menjadi Tersangka adalah TIDAK SAH dan tidak berdasar atas hukum, dan oleh karenanya penetapan a quo tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
5. Menyatakan bahwa perbuatan Termohon yang menetapkan Pemohon sebagai Tersangka tanpa Prosedur adalah cacat Yuridis/bertentangan dengan hukum, yang mengakibatkan kerugian sebesar Rp. 1.000.000,- (Satu Juta Rupiah) 
6. Menyatakan tidak sah segala keputusan atau penetapan yang dikeluarkan lebih lanjut oleh Termohon yang berkenaan dengan penetapan tersangka atas diri Pemohon oleh Termohon;
7. Menyatakan tidak sah segala keputusan atau penetapan yang dikeluarkan lebih lanjut oleh Termohon yang berkenaan dengan Penyitaan barang bukti milik Pemohon oleh Termohonadalah TIDAK SAH dan tidak berdasar atas hukum, dan oleh karenanya penetapan a quo tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
8. Memulihkan hak Pemohon dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya;
9. Menghukum Termohon untuk membayar biaya perkara menurut ketentuan hukum yang berlaku.
Pihak Dipublikasikan Ya