Sistem Informasi Penelusuran Perkara
PENGADILAN NEGERI PRAYA
INFORMASI DETAIL PERKARA



Nomor Perkara Pemohon Termohon Status Perkara
5/Pid.Pra/2024/PN Pya 1.RIZKI
2.MARZUKI
3.LALU RUPAWAN
Kepala Kepolisian Resor Lombok Tengah Minutasi
Tanggal Pendaftaran Jumat, 15 Nov. 2024
Klasifikasi Perkara Sah atau tidaknya penetapan tersangka
Nomor Perkara 5/Pid.Pra/2024/PN Pya
Tanggal Surat Rabu, 13 Nov. 2024
Nomor Surat 93/PP-Pid-HBH-PK/LTG/XI/2024
Pemohon
NoNama
1RIZKI
2MARZUKI
3LALU RUPAWAN
Termohon
NoNama
1Kepala Kepolisian Resor Lombok Tengah
Kuasa Hukum Termohon
Petitum Permohonan

untuk mengajukan permohonan Praperadilan terhadap Penetapan sebagai tersangka dalam dugaan tindak Pidana Pengerusakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 407 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana oleh Sat Reskrim Kepolisian Resor Lombok tengah, Kepolisian Daerah Nusa Tenggara Barat.

Adapun yang menjadi alasan permohonan pemohon adalah sebagai berikut :

I. DASAR HUKUM PERMOHONAN PRAPERADILAN

  1. Bahwa sebelum Pemohon menguraikan alasan dari permohonan praperadilan ini, terlebih dahulu kami akan menyampaikan dasar-dasar hukum mengenai kewenangan dan obyek lembaga Praperadilan;

 

  1. Bahwa tindakan upaya paksa, seperti penetapan tersangka, penangkapan, penggeledahan, penyitaan,  penahanan, dan penuntutan yang dilakukan dengan melanggar peraturan perundang-undangan pada dasarnya merupakan suatu tindakan perampasan hak asasi manusia. Menurut Andi Hamzah (1986:10) “praperadilan merupakan tempat mengadukan pelanggaran Hak Asasi Manusia, yang memang pada kenyataannya penyusunan KUHAP banyak disemangati dan berujukan pada Hukum Internasional yang telah menjadi International Customary Law”. Oleh karena itu, Praperadilan menjadi satu mekanisme kontrol terhadap kemungkinan tindakan sewenang-wenang dari penyidik atau penuntut umum dalam melakukan tindakan tersebut. Hal ini bertujuan agar hukum ditegakkan dan perlindungan hak asasi manusia sebagai tersangka/terdakwa  dalam pemeriksaan penyidikan dan penuntutan. Di samping itu, praperadilan bermaksud sebagai pengawasan secara horizontal terhadap  hak-hak tersangka/terdakwa dalam pemeriksaan pendahuluan (vide Penjelasan Pasal 80 KUHAP). Berdasarkan pada nilai itulah penyidik atau penuntut umum dalam melakukan tindakan penetapan tersangka, penangkapan, penggeledahan, penyitaan,  penahanan, dan penuntutan agar lebih mengedepankan asas dan prinsip kehati-hatian dalam menetapkan seseorang menjadi tersangka.

 

  1. Bahwa sebagaimana diketahui Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Pasal 1 angka 10 menyatakan ;

 

“Praperadilan adalah wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini, tentang:

  1. Sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka;
  2. Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan;
  3. Permintaan ganti kerugian, atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan.”

 

  1. Bahwa selain itu yang menjadi objek praperadilan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 77 KUHAP diantaranya adalah:

Pengadilan negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini tentang:

  1. sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan;
  2. ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.

 

  1. Bahwa dalam perkembangannya pengaturan Praperadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 10 Jo. Pasal 77 KUHAP, sering terjadi tidak dapat menjangkau fakta perlakuan aparatur penegak hukum yang nyata-nyata merupakan pelanggaran hak asasi seseorang, sehingga yang bersangkutan tidak memperoleh perlindungan hukum yang nyata dari Negara. Untuk itu perkembangan yang demikian melalui dapat diakomodirnya mengenai sah tidaknya penetapan tersangka dan sah tidaknya penyitaan telah diakui merupakan wilayah kewenangan praperadilan, sehingga dapat meminimalisasi terhadap perlakuan sewenang-wenang oleh aparat penegak hukum. Dalam kaitan perubahan dan perkembangan hukum dalam masyarakat yang demikian, bukanlah sesuatu yang mustahil terjadi dalam praktik sistem hukum di negara mana pun apalagi di dalam sistem hukum common law, yang telah merupakan bagian dari sistem hukum di Indonesia. Peristiwa hukum inilah yang menurut (alm) Satjipto Rahardjo disebut ”terobosan hukum” (legal-breakthrough) atau hukum yang prorakyat (hukum progresif) dan menurut Mochtar Kusumaatmadja merupakan hukum yang baik karena sesuai dengan perkembangan nilai-nilai keadilan yang hidup dan berkembang dalam masyarakat. Terobosan hukum dan hukum yang baik itu merupakan cara pandang baru dalam memandang fungsi dan peranan hukum dalam pembangunan nasional di Indonesia. Dengan demikian hukum bukan hanya memiliki aspek normatif yang diukur dari kepastiannya melainkan juga memiliki aspek nilai (values) yang merupakan bagian dinamis aspirasi masyarakat yang berkembang dan terkini.

 

  1. Bahwa selain itu telah terdapat beberapa putusan pengadilan yang memperkuat dan melindungi hak-hak tersangka, sehingga lembaga praperadilan juga dapat memeriksa dan mengadili keabsahan penetapan tersangka seperti yang terdapat dalam perkara berikut :
    1. Putusan Pengadilan Negeri Bengkayang No. 01/Pid.Prap/2011/PN.BKY tanggal 18 Mei 2011
    2. Putusan Mahkamah Agung No. 88 PK/PID/2011 tanggal 17 Januari 2012
    3. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No. 38/Pid.Prap/2012/Pn.Jkt.Sel tanggal 27 november 2012
    4. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No. 04/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel tanggal 15 Februari 2015
    5. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No. 36/Pid.Prap/2015/Pn.Jkt.Sel tanggal 26 Mei 2015
    6. Dan lain sebagainya
  2. Bahwa melalui Putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014 tanggal 28 Bahwa melalui Putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014 tanggal 28 April 2015 memperkuat diakuinya lembaga praperadilan juga dapat memeriksa dan dan mengadili keabsahan penetapan tersangka, seperti pada kutipan putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014 sebagai berikut :

Mengadili, Menyatakan :

  1. Mengabulkan Permohonan untuk sebagian :
    • [dst]
    • [dst]
    • Pasal 77 huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang hukum acara pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1981, Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai termasuk Penetapan Tersangka, Penggeledahan dan Penyitaan;
    • Pasal 77 huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang hukum acara pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1981, Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai termasuk Penetapan Tersangka, Penggeledahan dan Penyitaan;
  1. Bahwa dengan demikian jelas bahwa berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014 tanggal 28 April 2015 bahwa Penetapan Tersangka merupakan bagian dari wewenang Praperadilan. Mengingat Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final dan mengikat, maka sudah tidak dapat diperdebatkan lagi bahwa semua harus melaksanakan Putusan yang telah berkekuatan hukum tetap sejak diucapkan

II. ALASAN PERMOHONAN PRAPERADILAN

  • PEMOHON TIDAK PERNAH DIPERIKSA SEBAGAI CALON TERSANGKA DAN TERMOHON MELAKUKAN KRIMINALISASI TERHADAP PARA PEMOHON DENGAN MENGENYAMPINGKAN TUJUAN DAN PERKEMBANGAN DARI HUKUM PIDANA
  1. Bahwa melalui putusan Mahkamah Konstitusi (MK) bernomor 21/PUU-XII/2014. MK mengabulkan sebagian permohonan yang salah satunya menguji ketentuan objek praperadilan. Melalui putusannya, Mahkamah Konstitusi menyatakan inkonstitusional bersyarat terhadap frasa “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup”, dan “bukti yang cukup” dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP sepanjang dimaknai minimal dua alat bukti sesuai Pasal 184 KUHAP. Pasal 77 huruf a KUHAP dinyatakan inkontitusional bersyarat sepanjang dimaknai termasuk penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan.
  2. Bahwa Mahkamah beralasan KUHAP tidak memberi penjelasan mengenai batasan jumlah (alat bukti) dari frasa “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup”, dan “bukti yang cukup”. Berbeda dengan Pasal 44 ayat (2) UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang mengatur secara jelas batasan jumlah alat bukti, yakni minimal dua alat bukti.
  3. “Frasa ‘bukti permulaan’, ‘bukti permulaan yang cukup’, dan ‘bukti yang cukup’ dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP harus ditafsirkan sekurang-kurangnya dua alat bukti sesuai Pasal 184 KUHAP disertai pemeriksaan calon tersangkanya, kecuali tindak pidana yang penetapan tersangkanya dimungkinkan dilakukan tanpa kehadirannya (in absentia),”
  4. Mahkamah menganggap syarat minimum dua alat bukti dan pemeriksaan calon tersangka  untuk transparansi dan perlindungan hak asasi seseorang agar sebelum seseorang ditetapkan sebagai tersangka telah dapat memberi keterangan secara seimbang. Hal ini menghindari adanya tindakan sewenang-wenang oleh penyidik terutama dalam menentukan bukti permulaan yang cukup itu.
  5. Bahwa sebagaimana diketahui Para Pemohon tidak pernah dilakukan Pemeriksaan dalam kapasitas untuk klarifikasi, Berdasar pada Surat Panggilan untuk pertama kali dan satu-satunya oleh Termohon, yakni melalui surat undangan wawancara klarifikasi perkara oleh Termohon kepada Pemohon dengan Nomor B/1478/XI/RES.1.10./2024/RESKRIM tertanggal 5 November 2024 atas nama LALU PAWAN, B/1480/XI/RES.1.10./2024/RESKRIM tertanggal 5 November 2024 atas nama RIZKI, B/1481/XI/RES.1.10./2024/RESKRIM tertanggal 5 November 2024 atas nama MARZUKI, dalam pemeriksaan yang dihadiri oleh para Pemohon pada hari sabtu tanggal 09 November 2024 tidak pernah membuktikan Pemohon dimintai klarifikasi sebelumnya pada tahap penyelidikan, akan tetapi Pemohon langsung diperiksa sebagai saksi oleh Termohon, sehingga tidak dengan seimbang Pemohon dapat melakukan klarifikasi terhadap apa yang dituduhkan kepada Pemohon.
  6. Bahwa Untuk itu berdasar pada putusan Mahkamah Konstitusi (MK) bernomor 21/PUU-XII/2014 Frasa ‘bukti permulaan’, ‘bukti permulaan yang cukup’, dan ‘bukti yang cukup’ dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP harus ditafsirkan sekurang-kurangnya dua alat bukti sesuai Pasal 184 KUHAP disertai pemeriksaan calon tersangkanya. Tidak pernah dilakukan oleh Termohon kepada Pemohon. Dikarenakan Putusan MK bersifat final dan mengikat, serta berlaku asas Res Judicata (Putusan Hakim Harus dianggap benar) serta Putusan MK bersifat Erga Omnes (berlaku umum), maka harus menjadi rujukan dalam setiap proses pemeriksaan oleh Termohon dalam hal ini Sat Reskrim Polres Lombok Tengah.
  7. Bahwa selain itu tujuan dari hukum pidana dewasa ini sudah mengalami perkembangan dimana terhadap perbuatan pidana tidak selamanya berujung terhadap pemidanaan seseorang melainkan dapat dilakukan upaya-upaya preventif terhadap permasalahan yang sedang di hadapi seperti halnya melalui upaya Restoratif justice sebagaimana diamanatkan didalam Perpol Nomor 8 tahun tahun 2021 tentang  penanganan tindak pidana berdasarkan keadilan restoratif.
  8. Dengan demikian jelas tindakan Termohon dengan atau tanpa pemeriksaan/klarifikasi pada tahap penyelidikan merupakan tindakan yang tidak sah, dan harus dibatalkan tentang penetapan tersangka terhadap diri Pemohon oleh Hakim yang memeriksa dan mengadili perkara A Quo.
  • TIDAK PERNAH ADA  BERITA ACARA INTEROGASI PADA TAHAP PENYELIDIKAN ATAS DIRI PARA PEMOHON
  1. Bahwa berdasarkan surat undangan wawancara klarifikasi perkara oleh Termohon kepada  Para Pemohon dengan Nomor B/1478/XI/RES.1.10./2024/RESKRIM tertanggal 5 November 2024 atas nama LALU PAWAN, B/1480/XI/RES.1.10./2024/RESKRIM tertanggal 5 November 2024 atas nama RIZKI, B/1481/XI/RES.1.10./2024/RESKRIM tertanggal 5 November 2024 atas nama MARZUKI, sejatinya Para Pemohon harus dimintai klarifikasi dalam bentuk Berita Acara Intrigasi, akan tetapi oleh penyelidik langsung memeriksa para Pemohon sebagai saksi dengan menuangkan keterangan Para Pemohon dalam Berita Acara Pemeriksaan Saksi, artinya bahwa prosedur dalam tahapan penyelidikan tidak dilaksanakan oleh Penyelidik yang sejatinya menuangkan dalam berita acara interogasi/klarifikasi;
  2. Bahwa sebagaimana diakui baik oleh Para Pemohon maupun Termohon, bahwa penetapan tersangka atas diri Para Pemohon baru diketahui oleh Pemohon berdasarkan surat panggilan sebagai Tersangka oleh Termohon kepada Pemohon dengan Surat Panggilan Tersangka Ke-1 Nomor S.Pgl/500/XI/RES.1.10.2024/Reskrim  tertanggal 10 November 2024 atas nama RIZKI, Surat Panggilan Tersangka Ke-1 Nomor S.Pgl/501/XI/RES.1.10.2024/Reskrim  tertanggal 10 November 2024 atas nama MARZUKI, Surat Panggilan Tersangka Ke-1 Nomor S.Pgl/503/XI/RES.1.10.2024/Reskrim  tertanggal 10 November 2024 atas nama LALU RUPAWAN, Bahwa apabila mengacu kepada surat panggilan tersebut, tidak pernah ada tahapan penyelidikan kepada  Para Pemohon. Padahal sesuai Pasal 1 angka 1 dan 4 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Polisi memiliki tugas melakukan penyelidikan dan penyidikan.
  3. Bahwa hal itu senada dengan penyelidikan dan penyidikan, menurut Yahya Harahap, S.H., dalam bukunya yang berjudul Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Penyidikan dan Penuntutan (hal. 101), menjelaskan bahwa dari pengertian dalam KUHAP, “penyelidikan” merupakan tindakan tahap pertama permulaan “penyidikan”. Akan tetapi harus diingat, penyelidikan bukan tindakan yang berdiri sendiri terpisah dari fungsi “penyidikan”. Penyelidikan merupakan bagian yang tak terpisah dari fungsi penyidikan. Kalau dipinjam kata-kata yang dipergunakan buku petunjuk Pedoman Pelaksanaan KUHAP, penyelidikan merupakan salah satu cara atau metode atau sub daripada fungsi penyidikan yang mendahului tindakan lain, yaitu penindakan berupa penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, pemeriksaan surat, pemanggilan, tindakan pemeriksaan, dan penyerahan berkas kepada penuntut umum. Lebih lanjut, Yahya Harahap menyatakan bahwa jadi sebelum dilakukan tindakan penyidikan, dilakukan dulu penyelidikan oleh pejabat penyelidik, dengan maksud dan tujuan mengumpulkan “bukti permulaan” atau “bukti yang cukup” agar dapat dilakukan tindak lanjut penyidikan. Mungkin penyelidikan dapat disamakan dengan pengertian “tindak pengusutan” sebagai usaha mencari dan menemukan jejak berupa keterangan dan bukti-bukti suatu peristiwa yang diduga merupakan tindak pidana.
  4. Yahya Harahap (Ibid, hal. 102) juga mengatakan bahwa jika diperhatikan dengan seksama, motivasi dan tujuan penyelidikan, merupakan tuntutan tanggung jawab kepada aparat penyidik, untuk tidak melakukan tindakan penegakan hukum yang merendahkan harkat martabat manusia. Sebelum melangkah melakukan pemeriksaan penyidikan seperti penangkapan atau penahanan, harus lebih dulu berusaha mengumpulkan fakta dan bukti, sebagai landasan tindak lanjut penyidikan. Penyelidikan atas perkara orang lain tidak dapat langsung dipakai pada penyelidikan atas nama Para Pemohon.
  5. Dengan demikian jelas berdasarkan uraian singkat diatas, kegiatan penyelidikan dan penyidikan merupakan 2 hal yang tidak dapat berdiri sendiri dan dapat dipisahkan keduanya. Berkenaan dengan Pemohon dengan tidak pernah diterbitkannya surat perintah penyelidikan atas diri pemohon, maka dapat dikatakan penetapan tersangka dengan atau tanpa surat perintah penyelidikan dapat dikatakan tidak sah dan cacat hukum, untuk itu harus dibatalkan.
  • UNDANGAN KLARIFIKASI YANG DIKIRIM TERMOHON TIDAK SAH KARENA DIDASARI DENGAN PENGADUAN YANG TIDAK SAH
  1. Bahwa Para Pemohon ditetapkan sebagai tersangka pada hari minggu tanggal 10 November 2024;
  2. Bahwa pada tanggal 09 November 2024 Para Pemohon dipanggil untuk dimintai keterangan introgasi awal berdasarkan surat undangan wawancara klarifikasi perkara Nomor B/1478/XI/RES.1.10./2024/RESKRIM tertanggal 5 November 2024 atas nama LALU PAWAN, B/1480/XI/RES.1.10./2024/RESKRIM tertanggal 5 November 2024 atas nama RIZKI, B/1481/XI/RES.1.10./2024/RESKRIM tertanggal 5 November 2024 atas nama MARZUKI. Namun faktanya pada saat pemeriksaan oleh Penyidik Reskrim Polres Lombok Tengah para Pemohon tidak di interogasi berdasarkan surat panggilan yang dilayangkan pada para Pemohon melainkan penyidik hanya melakukan BAP langsung terhadap para Pemohon. Padahal dasar panggilan adalah pengaduan bukan laporan polisi (LP);
  3. Bahwa gelar perkara penetapan para tersangka pada tanggal 10 November 2024 tersebut telah menyalahi prosedur dan ketentuan undang-undang yang berlaku, sehingga proses penyelidikan ke tahap penyidikan tersebut adalah cacat hukum dan tindakan inprosedural;
  4. Bahwa atas undangan klarifikasi/wawancara yang dikirim Termohon Penyidik Polres Lombok Tengah tidak sah, karena didasari dengan pengaduan yang tidak sah yang mana pengaduan tersebut dilakukan pada tanggal 29 Oktober 2024 sementara peristiwa pemindahan portal pintu masuk pantai Rowok tersebut terjadi pada tanggal 02 November 2024, sehingga Oleh karena demikian atas  tindakan hukum dari Penyidik Reskrim Polres Lombok Tengah tersebut tidak dapat dibenarkan oleh hukum atau batal demi hukum;

Bahwa untuk yang pertama kalinya melalui surat panggilan sebagai Tersangka oleh Termohon kepada Pemohon Para Pemohon baru diketahui oleh Para Pemohon berdasarkan surat panggilan sebagai Tersangka oleh Termohon kepada Pemohon dengan Surat Panggilan Tersangka Ke-1 Nomor S.Pgl/500/XI/RES.1.10.2024/Reskrim  tertanggal 10 November 2024 atas nama RIZKI, Surat Panggilan Tersangka Ke-1 Nomor S.Pgl/501/XI/RES.1.10.2024/Reskrim  tertanggal 10 November 2024 atas nama MARZUKI, Surat Panggilan Tersangka Ke-1 Nomor S.Pgl/503/XI/RES.1.10.2024/Reskrim  tertanggal 10 November 2024 atas nama LALU RUPAWAN. Dalam hal dapatlah disimpulkan bahwa 

Pihak Dipublikasikan Ya