Sistem Informasi Penelusuran Perkara
PENGADILAN NEGERI PRAYA
INFORMASI DETAIL PERKARA



Nomor Perkara Pemohon Termohon Status Perkara
1/Pid.Pra/2022/PN Pya DRS.H.JAUHARI Kejaksaan Negeri Lombok Tengah Minutasi
Tanggal Pendaftaran Senin, 27 Jun. 2022
Klasifikasi Perkara Sah atau tidaknya penetapan tersangka
Nomor Perkara 1/Pid.Pra/2022/PN Pya
Tanggal Surat Senin, 27 Jun. 2022
Nomor Surat 27.06/LBH-Reborn/VI/2022
Pemohon
NoNama
1DRS.H.JAUHARI
Termohon
NoNama
1Kejaksaan Negeri Lombok Tengah
Kuasa Hukum Termohon
Petitum Permohonan
I.  DASAR HUKUM PERMOHONAN PRAPERADILAN
Bahwa sebelum Pemohon menguraikan alasan Permohonan Praperadilan ini, terlebih dahulu Pemohon menyampaikan dasar-dasar hukum mengenai kewenangan dan Obyek Lembaga Praperadilan:
Bahwa terlahirnya lembaga Praperadilan karena terinspirasi oleh prinsip-prinsip yang bersumber dari adanya hak Habeas Corpus dalam sistem peradilan Anglo Saxon, yang memberikan jaminan fundamental terhadap hak asasi manusia khususnya hak kemerdekaan. Habeas Corpus Act memberikan hak kepada seseorang melalui suatu surat perintah pengadilan menuntut pejabat yang melaksanakan hukum pidana formil tersebut agar tidak melanggar hukum (illegal) atau tegasnya melaksanakan hukum pidana formil tersebut benar-benar sah sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Hal ini untuk menjamin bahwa perampasan ataupun pembatasan kemerdekaan terhadap seseorang tersangka atau terdakwa itu benar-benar telah memenuhi ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku maupun jaminan hak-hak asasi manusia;
Bahwa keberadaan lembaga Praperadilan sebagaimana diatur dalam BAB X bagian Kesatu KUHAP dan BAB XII Bagian Kesatu KUHAP, secara jelas dan tegas dimaksudkan sebagai sarana kontrol atau pengawasan horizontal untuk menguji keabsahan penggunaan wewenang oleh aparat penegak hukum (penyelidik/penyidik), sebagai upaya koreksi terhadap penggunaan wewenang apabila dilaksanakaan secara sewenang-wenang dengan maksud/tujuan lain di luar dari yang ditentukan secara tegas dalam KUHAP, guna menjamin perlindungan terhadap hak asasi setiap orang termasuk dalam hal ini hak Pemohon. Lembaga Praperadilan yang terdapat dalam KUHAP identik dengan lembaga Pre Trial yang terdapat di Amerika Serikat yang menerapkan prinsip Habeas, yang mana pada dasarnya menjelaskan bahwa di dalam masyarakat yang beradab maka pemerintah harus selalu menjamin hak kemerdekaan seseorang. Bahwa lembaga praperadilan sebagaimana diatur dalam pasal 77 s/d 83 KUHAP adalah suatu lembaga yang berfungsi untuk menguji apakah tindakan/upaya paksa yang dilakukan oleh penyidik/penuntut umum sudah sesuai dengan Undang-Undang dan tindakan tersebut telah dilengkapi administrasi penyidikan secara cermat atau tidak, karena pada dasarnya tuntutan praperadilan menyangkut sah tidaknya tindakan penyidik atau penuntut umum di dalam melakukan penyidikan atau penuntutan;
Bahwa Tindakan upaya paksa, seperti Penangkapan, Penggeledahan, Penyitaan, Penetapan Tersangka,  Penahanan, dan Penuntutan yang dilakukan dengan melanggar peraturan perundang-undangan pada dasarnya merupakan suatu tindakan perampasan Hak Asasi Manusia. Menurut Andi Hamzah (1986:10). Praperadilan merupakan tempat mengadukan pelanggaran Hak Asasi Manusia, yang memang pada kenyataannya penyusunan KUHAP banyak disemangati dan berujukan pada Hukum Internasional yang telah menjadi International Customary Law. Oleh karena itu, Praperadilan menjadi satu mekanisme kontrol terhadap kemungkinan terjadi tindakan kesewenang-wenang dari Penyidik atau Penuntut Umum dalam melakukan tindakan tersebut. Hal ini bertujuan agar hukum dapat ditegakkan terhadap Perlindungan Hak Asasi Manusia sebagai Tersangka/Terdakwa  dalam pemeriksaan Penyidikan dan Penuntutan. Di samping itu, Praperadilan bermaksud sebagai pengawasan secara horizontal terhadap  hak-hak Tersangka/Terdakwa dalam pemeriksaan pendahuluan (vide Penjelasan Pasal 80 KUHAP). Berdasarkan pada nilai itulah Penyidik atau Penuntut umum dalam melakukan tindakan Penetapan Tersangka, Penangkapan, Penggeledahan, Penyitaan,  Penahanan, dan Penuntutan agar lebih mengedepankan asas dan prinsip kehati-hatian dalam menetapkan seseorang sebagai Tersangka;
Bahwa sebagaimana diketahui Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Pasal 1 angka 10 menyatakan :
Praperadilan adalah wewenang Pengadilan Negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini, tentang :
a. Sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka;
b. Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan;
c. Permintaan ganti kerugian, atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan.”
Bahwa selain itu yang menjadi Obyek Praperadilan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 77 KUHAP diantaranya adalah :
Pengadilan Negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini tentang :
a. Sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan;
b. ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.
Dalam perkembangannya pengaturan Praperadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 10 Jo. Pasal 77 KUHAP, sering terjadi tidak dapat menjangkau fakta perlakuan Aparatur Penegak Hukum yang nyata-nyata merupakan pelanggaran hak asasi seseorang, sehingga yang bersangkutan tidak memperoleh perlindungan hukum yang nyata dari Negara. Untuk itu perkembangan yang demikian dapat diakomodirnya mengenai sah atau tidaknya penetapan tersangka dan sah tidaknya penyitaan telah diakui merupakan wilayah kewenangan Praperadilan, sehingga dapat meminimalisasi terhadap perlakuan sewenang-wenang oleh Aparat Penegak Hukum. Dalam kaitan perubahan dan perkembangan hukum dalam masyarakat yang demikian, bukanlah sesuatu yang mustahil terjadi dalam praktik sistem hukum di negara mana pun. Peristiwa hukum inilah yang menurut (alm) Satjipto Rahardjo disebut ”terobosan hukum” (legal-breakthrough) atau hukum yang prorakyat (hukum progresif) dan menurut Mochtar Kusumaatmadja merupakan hukum yang baik karena sesuai dengan perkembangan nilai-nilai keadilan yang hidup dan berkembang dalam masyarakat. Terobosan hukum dan hukum yang baik itu merupakan cara pandang baru dalam memandang fungsi dan peranan hukum dalam pembangunan nasional di Indonesia. Dengan demikian hukum bukan hanya memiliki aspek normatif yang diukur dari kepastiannya melainkan juga memiliki aspek nilai (values) yang merupakan bagian dinamis aspirasi masyarakat yang berkembang dan terkini.
Bahwa selain itu telah terdapat beberapa putusan pengadilan yang memperkuat dan melindungi hak-hak Tersangka, sehingga lembaga Praperadilan juga dapat memeriksa dan mengadili keabsahan Penetapan Tersangka seperti yang terdapat dalam perkara berikut diantaranya:
1) Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor :  38/Pid.Prap/2012/Pn.Jkt.Sel, tanggal 27 november 2012
2) Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Noomor : 04/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel, tanggal 15 Februari 2015
3) Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor : 36/Pid.Prap/2015/Pn.Jkt.Sel, tanggal 26 Mei 2015
Bahwa, sejak adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor : 21/PUU-XII/2014 tanggal 28 April 2015, obyek Praperadilan diperluas selain dari apa yang sudah termuat dalam pasal 77 Undang - undang Nomor 1 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang - undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) tersebut diatas, penetapan seseorang menjadi Tersangka pun dapat menjadi obyek Praperadilan;
Bahwa melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor : 21/PUU-XII/2014 tanggal 28 April 2015 memperkuat diakuinya Lembaga Praperadilan juga dapat memeriksa dan dan mengadili keabsahan Penetapan Tersangka, seperti pada kutipan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor : 21/PUU-XII/2014 sebagai berikut :
Mengadili,
Menyatakan :
1. Mengabulkan Permohonan untuk sebagian :
[dst]
[dst]
Pasal 77 huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang hukum acara pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1981, Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai termasuk Penetapan Tersangka, Penggeledahan dan Penyitaan;
Pasal 77 huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang hukum acara pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1981, Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai termasuk Penetapan Tersangka, Penggeledahan dan Penyitaan;
Dengan demikian jelas bahwa berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor : 21/PUU-XII/2014 tanggal 28 April 2015 bahwa Penetapan Tersangka merupakan bagian dari wewenang atau Objek Praperadilan. Mengingat Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final dan mengikat, maka sudah tidak dapat diperdebatkan lagi bahwa semua harus melaksanakan Putusan yang telah berkekuatan hukum tetap sejak diucapkan;
Bahwa selain adanya Putusan mahkamah Konstitusi  Nomor : 21/PUU-XII/2014 tersebut terdapat Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor : 130/PUU-XIII/2015, yang mewajibkan Penyidik untuk menyampaikan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan kepada Penuntut Umum, Pelapor/Korban, dan Terlapor, memancing peran serta masyarakat untuk ikut membantu mengawasi bekerjanya sistem Peradilan Pidana dalam fungsi kontrol sosial;
Bahwa dalam pertimbangannya Mahkamah Konstitusi Menyatakan “Pasal 109 ayat (1) KUHAP bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang frasa ‘penyidik memberitahukan hal itu kepada penuntut umum’ tidak dimaknai penyidik wajib memberitahukan dan menyerahkan SPDP penyidikan kepada penuntut umum, terlapor, dan korban/pelapor dalam waktu paling lambat 7 hari setelah dikeluarkannya surat perintah penyidikan” yang mana amar Putusannya sebagai berikut :
Mengadili :
1. ....;
 
2. Menyatakan Pasal 109 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3209) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 secara bersyarat dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang frasa “penyidik memberitahukan hal itu kepada penuntut umum” tidak dimaknai “penyidik wajib memberitahukan dan menyerahkan surat perintah dimulainya penyidikan kepada penuntut umum, terlapor, dan korban/pelapor dalam waktu paling lambat 7 (tujuh) hari setelah dikeluarkannya surat perintah penyidikan”.
 
3. Dst..;
 
4. Dst...
Bahwa dalam hal ini, waktu 7 (tujuh) hari merupakan tenggat waktu yang patut untuk menyampaikan Surat Perintah Dimulainya Penyidikan (SPDP) oleh Termohon kepada Pemohon. Karena berdasarkan pertimbangan Mahkamah konsitusi di atas penyidik wajib menyerahkan SPDP penyidikan kepada penuntut umum, terlapor, dan korban/pelapor dalam waktu paling lambat 7 hari setelah dikeluarkannya surat perintah penyidikan, apabila tidak dilakukan maka bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
 
II.  ALASAN PERMOHONAN PRAPERADILAN
A. TIDAK ADA BUKTI PERMULAAN YANG CUKUP DALAM MENETAPKAN PEMOHON SEBAGAI TERSANGKA SERTA PEMOHON DITETAPKAN SEBAGAI TERSANGKA, TIDAK DIBERIKAN TURUNAN SURAT PEMBERITAHUAN DIMULAINYA PENYIDIKAN (SPDP)
1. Bahwa pemohon merupakan Account Officer pada Bank Perkreditan Rakyat (BPR) NTB Cabang Batukliang sejak tahun 2013  sampai dengan tahun 2017 dan Pemohon telah ditetapkan statusnya sebagai Tersangka oleh Termohon atas dugaan tindak pidana korupsi atas penyaluran dan pemberian kredit pada perusahaan daerah (PD) BPR NTB, Cabang Lombok Tengah cabang Batu Kliang;
2. Bahwa dengan kapasitasnya Pemohon sebagai Account Officer sangat aneh jika Pemohon ditetapkan statusnya sebagai Tersangka atas dugaan tindak pidana korupsi, karena Tugas dan tangggung jawab Pemohon hanya menerima dan menyalurkan berkas yang selanjutnya akan dianalisa dan disetujui oleh Pimpinan dari Pemohon;
3. Bahwa sebelum Pemohon ditetapkan statusnya sebagai tersangka oleh Termohon, Pemohon telah diperiksa beberapa kali dan dimintai keterangannya oleh Termohon yakni :
a. Pada tanggal 4 September 2019, Pemohon telah menerima surat undangan klarifikasi nomor : R – 113/N.2.11./Dek.3/09/2019,  dari Termohon untuk memberikan keterangan pada tanggal 6 September 2019, hal mana surat undangan tersebut berdasarkan atas surat perintah tugas Kepala Kejaksaan Negeri Lombok Tengah Nomor : SP.TUG – 09/N.2.11/Dek.3/08/2019, tanggal 29 Agustus 2019 dan Pemohon menghadiri undangan klarifikasi tersebut;
b. Pada tanggal 17 Februari 2020, Pemohon telah menerima surat permintaan keterangan nomor : R – 39/N.2.11/Fd.1/02/2020, dari Termohon untuk memberikan keterangan pada tanggal 20 Februari 2020, hal mana surat panggilan tersebut berdasarkan atas surat perintah penyelidikan Nomor : Print – 02/N.2.11/Fd.1/01/2020, tanggal 23 Januari 2020 dan Pemohon menghadiri undangan klarifikasi tersebut;
c. Pada tanggal 24 Agustus 2020, Pemohon telah menerima surat panggilan sebagai saksi dengan nomor : SP – 83/N.2.11/Fd.1/08/2020, dari Termohon untuk memberikan keterangan sebagai saksi pada tanggal 26 Agustus 2020, hal mana surat panggilan tersebut berdasarkan atas surat perintah Penyidikan Nomor : Print – 807/N.2.11/Fd.1/07/2020, tanggal 28 Juli 2020  dan pemohon menghadiri surat panggilan sebagai saksi tersebut yang telah ;
d. Pada tanggal 23 April 2021, Pemohon telah menerima surat panggilan sebagai saksi dengan nomor : SP – 60/N.2.11/Fd.1/04/2020, dari Termohon untuk memberikan keterangan sebagai saksi pada tanggal 28 April 2021, hal mana surat panggilan tersebut berdasarkan atas surat perintah penyidikan Nomor : Print – 807/N.2.11/Fd.1/07/2020, tanggal 28 Juli 2020 dan Print – 1219/N.2.11/Fd.1/12/2020 tanggal 7 Desember 2020  dan pemohon menghadiri surat panggilan sebagai saksi tersebut yang telah ;
e. Pada tanggal 21 Februari 2022, Pemohon telah menerima surat panggilan sebagai saksi dengan nomor : SP – 13/N.2.11/Fd.1/02/2020, dari Termohon untuk memberikan keterangan sebagai saksi pada tanggal 24 Februari 2022, hal mana surat panggilan tersebut berdasarkan atas surat perintah penyidikan Nomor : Print – 807/N.2.11/Fd.1/07/2020 tanggal 28 Juli 2020 dan Print – 1219/N.2.11/Fd.1/12/2020 tanggal 7 Desember 2020 dan Print – 01/ N.2.11/Fd.1/04/2021 tanggal 05 April 2021  dan pemohon menghadiri surat panggilan sebagai saksi tersebut yang telah ;
f. Pada tanggal 26 April 2022, Pemohon dihubungi Via telpon oleh Termohon untuk hadir pada kantor Termohon agar diperiksa sebagai saksi, namun nyatanya Pemohon diperiksa sebagai Tersangka tanpa dipanggil secara patut melalui surat resmi dan pada proses pemeriksaan tersebut tidak disertai dengan tanya-jawab layaknya pemeriksaan resmi dan pada hari itu juga Pemohon ditahan pada Rutan Kelas II B Praya;
4. Bahwa berdasarkan Point angka 3 (tiga) di atas Pemohon sejak tanggal 26 April 2022, telah dilakukan Penahanan oleh Termohon pada Rutan Kelas II B Praya  sesuai dengan surat perintah penahanan Nomor : PRINT – 543/N.2.11/Fd.1/04/2022 tanggal 26 April 2022, hingga diajukannya permohon praperadilan ini oleh Pemohon dan Pemohon tidak pernah menerima ataupun dikirimkan Surat Perintah dimulainya Penyidikan (SPDP) oleh Termohon;
5. Bahwa selain Pemohon tidak pernah menerima ataupun dikirimkan Surat Perintah dimulainya Penyidikan (SPDP) oleh Termohon, Pemohon juga tidak pernah menerima ataupun dikirimkan Surat Panggilan atas status dirinya sebagai Tersangka oleh Termohon, akan tetapi pada tanggal 26 April 2022, Termohon melalui bawahannya menghubungi Pemohon Via Telphon untuk mendatangani kantor Kejaksaan Negeri Praya, dan setelah itu Pemohon hanya datang dan duduk tanpa diperiksa layaknya pemeriksaan seorang Tersangka, sehingga Pemohon sangat terkejut ketika dirinya ditahan pada hari itu juga oleh Termohon;
6. Bahwa selanjutnya apa alasan dan dasar Termohon menetapkan Pemohon sebagai Tersangka, karena menetapkan seseorang sebagai Tersangka dapat dilakukan jika ditemukan 2 (dua) bukti Permulaan yang cukup;
7. Bahwa terlebih dahulu Pemohon uraikan tentang Ketentuan Hukum Acara Pidana terkait dengan Penyelidikan, Penyidikan, Penangkapan dan Penahanan;
8. Bahwa, Penyelidikan adalah Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini (Pasal 1 angka “5”  KUHAP);
9. Bahwa, Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya (Pasal 1 angka “2” KUHAP);
10. Bahwa, Penyidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia atau Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan (Pasal 1 angka “1” KUHAP);
11. Bahwa, Tersangka adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidan (Pasal 1 angka “14” KUHAP);
12. Bahwa, Penahanan adalah penempatan tersangka atau terdakwa di tempat tertentu oleh penyidik atau penuntut umum atau hakim dengan penetapannya, dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini (Pasal 1 angka”21” KUHAP);
13. Bahwa berdasar pada Putusan Mahkamah Konstitusi dengan nomor Perkara 21/PUU-XII/2014 Frasa “Bukti Permulaan”, Frasa “Bukti Permulaan Yang Cukup” dan “Bukti Yang Cukup” dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17 dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP oleh Mahkamah Konstitusi dinyatakan harus dimaknai sebagai “minimal dua alat bukti” sesuai dengan pasal 184 KUHAP.;
14. Bahwa melalui putusan Mahkamah Konstitusi (MK) bernomor 21/PUU-XII/2014. MK mengabulkan sebagian permohonan yang salah satunya menguji ketentuan objek Praperadilan. Melalui putusannya, Mahkamah Konstitusi menyatakan inkonstitusional bersyarat terhadap frasa “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup”, dan “bukti yang cukup” dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP sepanjang dimaknai minimal dua alat bukti sesuai Pasal 184 KUHAP. Pasal 77 huruf a KUHAP dinyatakan inkontitusional bersyarat sepanjang tidak dimaknai termasuk penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan;
15. Bahwa “Frasa ‘bukti permulaan’, ‘bukti permulaan yang cukup’, dan ‘bukti yang cukup’ dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP harus ditafsirkan sekurang-kurangnya dua alat bukti sesuai Pasal 184 KUHAP;
16. Bahwa Mahkamah menganggap syarat minimum dua alat bukti dan untuk transparansi dan perlindungan hak asasi seseorang agar sebelum seseorang ditetapkan sebagai Tersangka telah dapat memberi keterangan secara seimbang. Hal ini menghindari adanya tindakan sewenang-wenang oleh Penyidik terutama dalam menentukan bukti permulaan yang cukup itu;
17. Bahwa untuk itu berdasar pada putusan Mahkamah Konstitusi (MK) bernomor 21/PUU-XII/2014 Frasa ‘bukti permulaan’, ‘bukti permulaan yang cukup’, dan ‘bukti yang cukup’ dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP harus ditafsirkan sekurang-kurangnya dua alat bukti sesuai Pasal 184 KUHAP . Dikarenakan Putusan MK bersifat final dan mengikat, serta berlaku asas Res Judicata (Putusan Hakim Harus dianggap benar) serta Putusan MK bersifat Erga Omnes (berlaku umum), maka harus menjadi rujukan dalam setiap proses pemeriksaan oleh TERMOHON; 
18. Bahwa berdasar pada uraian diatas, maka tindakan PEMOHON yang tidak memenuhi minimal 2 (dua) alat bukti sebagaimana tertuang dalam Putusan Mahkamah Konstitusi dengan nomor Perkara 21/PUU-XII/2014, maka dapat dinyatakan tidak sah dan tidak berdasar atas hukum.;
19. Bahwa sampai saat Permohonan Praperadilan ini diajukan, PEMOHON tidak pernah diberikan turunan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan oleh Termohon;
20. Bahwa SPDP bagi PEMOHON adalah untuk kepentingan PEMOHON dalam mempersiapkan Pembelaan atas tindak pidana yang disangkakan kepada PEMOHON;
21. Bahwa dalam pertimbangannya Mahkamah Konstitusi Menyatakan “Pasal 109 ayat (1) KUHAP bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang frasa ‘penyidik memberitahukan hal itu kepada penuntut umum’ tidak dimaknai penyidik wajib memberitahukan dan menyerahkan SPDP penyidikan kepada penuntut umum, terlapor, dan korban/pelapor dalam waktu paling lambat 7 hari setelah dikeluarkannya surat perintah penyidikan”;
22. Bahwa Dengan demikian jelas berdasarkan uraian singkat diatas, maka dapat dikatakan penetapan Tersangka tanpa Pemberitahuan SPDP kepada Tersangka  dapat dikatakan tidak sah dan cacat hukum, untuk itu harus dibatalkan.;
 
B. PENETAPAN PEMOHON SEBAGAI TERSANGKA OLEH TERMOHON TERGOLONG TINDAKAN KESEWENANG-WENANGAN DAN BERTENTANGAN DENGAN ASAS KEPASTIAN HUKUM
23. Bahwa pada setiap pemeriksaan yang dilakukan oleh Termohon baik pada saat pemeriksaan saksi maupun pada pemeriksaan tersangka atas status Pemohon, Pemohon tidak pernah didampingi oleh Penasihat Hukum dan Pemohon tidak pernah membaca dan mengerti hasil dari pemeriksaan tersebut karena Pemohon harus menggunakan kaca mata untuk membaca karena umur pemohon yang sudah tidak lagi muda dan selanjutnya pada tanggal 26 April 2022 yang konon katanya menurut Termohon merupakan pemeriksaan sebagai Tersangka atas diri Pemohon, pada saat itu Pemohon juga tidak didampingi oleh Penasihat Hukum dan tidak menggunakan kacamata baca, karena memang pada tanggal 26 April 2022 tersebut tidak ada proses tanya jawab layaknya pemeriksaan, hanya terlihat Termohon menyalin dan menempel (Copy-Paste) keterangan Pemohon sebelumnya sebagai Saksi, selanjutnya Pemohon hanya diperintahkan untuk menandatangani berkas yang Pemohon tidak mengerti dan memahami isinya, kemudian datang seseorang yang konon katanya merupakan Advokat/pengacara (Penasihat Hukum) penunjukan dari Termohon yang ikut menandatangani surat Berita Acara Pemeriksaan Tersangka tersebut;
24. Bahwa setelah Pemohon ditahan di Rutan Kelas II B Praya, Pemohon menunjuk Agus jayadi., S.H., dan Rekan sebagai Penasihat Hukumnya, namun dengan alasan tertentu Pemohon pada tanggal 18 Mei 2022 mencabut pemberian kuasa  tersebut kepada Agus Jayadi., S.H., dan Rekan, selanjutnya Pemohon menunjuk Kantor Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Lombok hayat “Reborn” sebagai penasihat hukumnya yang baru hingga saat ini;
25. Bahwa selanjutnya pada tanggal 24 Mei 2022 Penasihat hukum Pemohon mendatangani kantor Termohon, guna meminta salinan Berita Acara Pemeriksaan Tersangka dan pada saat itu bertemu dengan Termohon yakni Kasi Pidsus Kejaksaan Negeri Lombok Tengah, namun Penasihat hukum Pemohon tidak berhasil mendapatkan Berita Acara Pemeriksaan Tersangka tersebut, karena  Termohon yakni Kasi Pidsus Kejaksaan Negeri Lombok Tengah akan meminta arahan pimpinannya apakah akan memberikan Berita Acara Pemeriksaan Tersangka tersebut;
26. Bahwa setelah dilakukan komunikasi yang intens dengan  Termohon yakni Kasi Pidsus Kejaksaan Negeri Lombok Tengah melalui Via Whatsapp, tetap tidak membuahkan hasil, kembali Pemohon melalui Penasihat hukumnya mendatangi Kantor Termohon pada tanggal 8 Juni 2022 guna meminta salinan Berita Acara Pemeriksaan Tersangka, setelah menunggu cukup lama yang disertai dengan berbagai alasan dari Termohon, akhirnya Termohon memberikan Berita  Acara Pemeriksaan Tersangka tersebut kepada Pemohon melalui penasihat hukumnya;
27. Bahwa setelah pemohon beserta penasihat hukumnya membaca secara cermat dan teliti Berita Acara Pemeriksaan Tersangka tersebut,  ternyata mendukung dalil pada poin angka 23 (dua puluh tiga) di atas, yakni pemeriksaan pemohon sebagai Tersangka yang tanpa disertai dengan surat panggilan resmi sebagai Tersangka dan tertuang dalanm Berita Acara Pemeriksaan Tersangka tersebut jelas terdapat banyak kesalahan dan kekeliruan yang masih mencantumkan status Pemohon sebagai saksi, sehingga dalil pada poin angka 23 (dua puluh tiga) di atas yakni Tindakan Termohon menyalin dan menempel (Copy-Paste) keterangan Pemohon sebelumnya sebagai Saksi tidak terbantahkan;
28. Bahwa selanjutnya Pemohon melalui Penasihat Hukumnya melakukan koordinasi dengan Termohon agar kiranya kesalahan prosedur tersebut dapat diperbaiki sesuai dengan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), dan meminta untuk dilakukan pemeriksaan tambahan namun tidak digubris oleh Termohon, lebih-lebih ternyata pada hari rabu tanggal 15 Juni 2022 Termohon mendatangi Pemohon di Rutan Klas II B Praya dengan berdalih bahwa melakukan perbaikan terhadap Berita Acara Pemeriksaan Tersangka dan Termohon mengatakan Kepada Pemohon telah berkoordinasi dengan Penasihat hukum Pemohon, padahal Termohon tidak pernah melakukan hal tersebut, akhirnya dengan terpaksa dan tekanan dari Termohon, pemohon menandatangani berita acara pemeriksaan yang merupakan berita acara pemeriksaan perubahan tersebut;
29. Bahwa pada hari kamis tanggal 16 Juni 2022, Tim Penasihat Hukum Pemohon mendapatkan kabar bahwa Termohon dengan 3 (tiga) orang mendatangi Pemohon di Rutan Klas II B Praya pada hari Rabu tanggal 15 juni 2022, akhirnya Tim Penasihat hukum Pemohon pada hari kamis tanggal 16 Juni 2022 berkunjung ke Rutan Klas II B Praya untuk menemui Pemohon dan kembali Termohon melakukan prosedur yang cacat, yakni Termohon mengirimkan Surat Perpanjangan Penahanan Nomor: 575/N.2.11/Fd.1/05/2022 tanggal 11 Mei 2022 pada hari kamis tanggal 16 Juni 2022, yang seolah-olah surat perpanjangan penahan tersebut telah dikirimkan pada tanggal 11 Mei 2022, SEHINGGA PENAHANAN PEMOHON SEJAK TANGGAL 15 MEI SAMPAI DENGAN TANGGAL 16 JUNI 2022 ADALAH MERUPAKAN  PENAHANAN YANG TIDAK SAH DAN CACAT PROSEDUR TIDAK SESUAI DENGAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA (KUHAP);       
30. Bahwa, Indonesia adalah negara demokrasi yang menjunjung tinggi hukum dan Hak Azasi Manusia (HAM) dalam UUD 1945 pasal 1 ayat (3) yang berbunyi “Negara Indonesia adalah negara hukum, artinya kita semua tunduk terhadap hukum dan HAM serta mesti terejawantahkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara kita termasuk dalam proses penegakan hukum, jika ada hal yang kemudian menyampingkan hukum dan Hak Azasi Manusia tersebut,  Maka negara wajib turun tangan melalui perangkat-perangkat hukumnya untuk menyelesaikan;
31. Bahwa sudah umum bilamana kepastian menjadi bagian dari suatu hukum, hal ini lebih diutamakan untuk norma hukum tertulis. Hukum tanpa nilai kepastian akan kehilangan jati diri serta maknanya, karena tidak lagi dapat digunakan sebagai pedoman perilaku setiap orang. Kepastian sendiri hakikatnya merupakan tujuan utama  dari hukum. Apabila dilihat secara historis banyak perbincangan yang telah dilakukan mengenai hukum semejak Montesquieu mengeluarkan gagasan mengenai pemisahan kekuasaan. Keteraturan masyarakat berkaitan erat dengan kepastian dalam hukum, karena keteraturan merupakan inti dari kepastian itu sendiri. Dari keteraturan akan menyebabkan seseorang hidup secara berkepastian dalam melakukan kegiatan yang diperlukan dalam kehidupan masyarakat;
32. Bahwa Menurut Sudikno Mertukusumo kepastian hukum merupakan sebuah jaminan bahwa hukum tersebut harus dijalankan dengan cara yang baik. Kepastian hukum menghendaki adanya upaya pengaturan hukum dalam perundang-undangan yang dibuat oleh pihak yang berwenang dan berwibawa, sehingga aturan-aturan itu memiliki aspek yuridis yang dapat menjamin adanya kepastian bahwa hukum berfungsi sebagai suatu peraturan yang harus ditaati;
33. Bahwa menurut Oemar Seno Adji menentukan prinsip ‘legality‘ merupakan karakteristik yang essentieel, baik ia dikemukakan oleh ‘Rule of Law’ – konsep, maupun oleh faham ‘Rechtstaat’ dahulu, maupun oleh konsep ‘Socialist Legality’. Demikian misalnya larangan berlakunya hukum Pidana secara retroaktif atau retrospective, larangan analogi, berlakunya azas ‘nullum delictum’ dalam Hukum Pidana, kesemuanya itu merupakan suatu refleksi dari prinsip ‘legality’;
34. Bahwa dalam hukum administrasi negara Badan/Pejabat Tata Usaha Negara dilarang melakukan Penyalahgunaan Wewenang. Yang di maksud dengan Penyalahgunaan wewenang meliputi melampaui wewenang, mencampuradukkan wewenang dan bertindak sewenang-wenang. Melampaui wewenang adalah melakukan tindakan di luar wewenang yang telah ditentukan berdasarkan perundang-undangan tertentu. Mencampuradukkan kewenangan dimana asas tersebut memberikan petunjuk bahwa “pejabat pemerintah atau alat administrasi negara tidak boleh bertindak atas sesuatu yang bukan merupakan wewenangnya atau menjadi wewenang pejabat atau badan lain”. Menurut Sjachran Basah “abus de droit” (tindakan sewenang-wenang), yaitu perbuatan pejabat yang tidak sesuai dengan tujuan di luar lingkungan ketentuan perundang-undangan. Pendapat ini mengandung pengertian bahwa untuk menilai ada tidaknya penyalahgunaan wewenang dengan melakukan pengujian dengan bagaiamana tujuan dari wewenang tersebut diberikan (asas spesialitas);
35. Bahwa tindakan sewenang-wenang juga dapat diartikan menggunakan wewenang (hak dan kekuasaan untuk bertindak) melebihi apa yang sepatutnya dilakukan sehingga tindakan dimaksud bertentangan dengan ketentuan Peraturan Perundang-Undangan. Penyalahgunaan wewenang juga telah diatur dalam Pasal 17 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Selain itu dalam Pasal 52 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan disebutkan tentang syarat sahnya sebuah Keputusan, yakni meliputi :
 ditetapkan oleh pejabat yang berwenang
 dibuat sesuai prosedur; dan
 substansi yang sesuai dengan objek Keputusan
36. Bahwa sebagaimana telah PEMOHON uraikan diatas, PENETAPAN TERSANGKA dan PENAHANAN terhadap diri PEMOHON dilakukan dengan tidak terpenuhinya prosedur menurut ketentuan Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku. 
 
C. TENTANG PEMBUKTIAN DIBEBANKAN KEPADA TERMOHON SECARA TERBATAS
37. Bahwa, tidak dapat dibenarkan seluruhnya bahwa dalam proses beracara pembuktian perkara Praperadilan, juga dianut ketentuan dalam hukum acara perdata dengan asas “actori incumbit probatio”, oleh karena tidak ada satupun ketentuan dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang menyebutkan secara tegas bahwa proses beracara dalam perkara Praperadilan dilakukan seperti dalam hukum acara Perdata;
38. Bahwa Hukum Acara Pidana menganut asas “Lex Scripta” yang berarti bahwa “Hukum Acara Pidana mengatur proses beracara dengan segala kewenangan yang ada harus tertulis”, dan asas “Lex Stricta” yang berarti bahwa “aturan dalam hukum acara pidana harus ditafsirkan secara ketat”, konsekuensinya adalah ketentuan dalam hukum acara pidana tidak dapat ditafsirkan selain dari apa yang tertulis;
39. Bahwa, Tersangka adalah pihak yang tidak bisa secara bebas dan leluasa mengumpulkan bukti–bukti meskipun dengan bantuan Penasehat Hukum atau Kuasa Hukumnya, oleh karena pada umumnya kondisi Tersangka sedang dibatasi hak kebebasannya melalui upaya Penangkapan dan Penahanan yang dilakukan oleh Penyidik;
40. Bahwa selain sedang dibatasi hak kebebasannya oleh Penyidik, apabila Tersangka dituntut untuk membuktikan suatu perbuatan yang negatif, yaitu membuktikan bahwa upaya paksa berupa Penangkapan dan Penahanan yang dilakukan oleh Penyidik kepadanya adalah tidak sah, hal ini jelas sangat menyulitkan dan memberatkan Tersangka sebagaimana asas pembuktian yang dikenal yaitu asas “Negative Non Sunt Probanda” yang mana asas ini mempunyai pengertian bahwa “membuktikan sesuatu yang negatif sangatlah sulit”;
41. Bahwa sangatlah adil dan bijaksana apabila dalam memeriksa perkara Praperadilan yang diajukan Pemohon kepada Termohon dalam perkara aquo dapat diterapkan asas “Reversal of burden proof” atau “omkering van bewijslast” atau di Indonesia dikenal dengan nama “pembalikan beban pembuktian”;
 III.  PETITUM
Berdasar pada argument dan fakta-fakta yuridis diatas, Pemohon mohon kepada Ketua Pengadilan Negeri kelas IA Mataram Cq. Hakim Tunggal yang memeriksa dan mengadili perkara a quo berkenan memutus perkara ini yang amarnya sebagai berikut :
1. Menerima dan mengabulkan permohonan Praperadilan Pemohon untuk seluruhnya;
2. Menyatakan sah dan bernilai sebagai alat bukti , seluruh alat bukti yang diajukan oleh Pemohon;
3. Menyatakan Surat Perintah Penyidikan (SPRINDIK) Nomor : Print – 807/N.2.11/Fd.1/07/2020 tanggal 28 Juli 2020 dan Print – 1219/N.2.11/Fd.1/12/2020 tanggal 7 Desember 2020 dan Print – 01/ N.2.11/Fd.1/04/2021 tanggal 05 April 2021  dan Print – 01/N.2.11/Fd.1/04/2022 tanggal 1 April 2022 dan Print – 01/N.2.11/Fd.1/04/2022 tanggal 26 April 2022, yang dikeluarkan Termohon adalah Tidak Sah dan tidak berdasarkan atas hukum  atau  Cacat Hukum, oleh karenanya Surat Perintah Penyidikan (SPRINDIK) Nomor : Print – 807/N.2.11/Fd.1/07/2020 tanggal 28 Juli 2020 dan Print – 1219/N.2.11/Fd.1/12/2020 tanggal 7 Desember 2020 dan Print – 01/ N.2.11/Fd.1/04/2021 tanggal 05 April 2021  dan Print – 01/N.2.11/Fd.1/04/2022 tanggal 1 April 2022 dan Print – 01/N.2.11/Fd.1/04/2022 tanggal 26 April 2022, tidak memiliki kekuatan hukum mengikat;
4. Menyatakan Surat Penetapan Tersangka yang diterbitkan Termohon Tidak sah dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat atas diri Pemohon;
5. Menyatakan surat perintah penahanan Nomor : PRINT – 543/N.2.11/Fd.1/04/2022 tanggal 26 April 2022, dan Surat Perpanjangan Penahanan Nomor: 575/N.2.11/Fd.1/05/2022 tanggal 11 Mei 2022 yang telah dikeluarkan Termohon adalah Tidak Sah dan tidak berdasarkan atau Cacat Hukum, oleh karenanya surat perintah penahanan Nomor : PRINT – 543/N.2.11/Fd.1/04/2022 tanggal 26 April 2022 dan Surat Perpanjangan Penahanan Nomor: 575/N.2.11/Fd.1/05/2022 tanggal 11 Mei 2022, tidak memiliki kekuatan Hukum mengikat;
6. Memerintahkan Termohon membebaskan Pemohon dari Tahanan segera setelah Putusan ini dibacakan;
7. Memerintahkan kepada Termohon untuk menghentikan penyidikan terhadap Pemohon;
8. Memulihkan hak Pemohon dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya;
9. Menghukum Termohon untuk membayar biaya perkara menurut hukum.;
Apabila Yang Mulia Hakim Tunggal dalam perkara ini berpendapat lain, mohon kiranya dapat memberikan putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono).
Pihak Dipublikasikan Ya