Sistem Informasi Penelusuran Perkara
PENGADILAN NEGERI PRAYA
INFORMASI DETAIL PERKARA



Nomor Perkara Pemohon Termohon Status Perkara
1/Pid.Pra/2024/PN Pya SAMSULKI Als DUDAK Kepolisian Resort Lombok Tengah Persidangan
Tanggal Pendaftaran Senin, 10 Jun. 2024
Klasifikasi Perkara Sah atau tidaknya penetapan tersangka
Nomor Perkara 1/Pid.Pra/2024/PN Pya
Tanggal Surat Senin, 10 Jun. 2024
Nomor Surat A-1.32.PID.PP.HA-LO.06.2024
Pemohon
NoNama
1SAMSULKI Als DUDAK
Termohon
NoNama
1Kepolisian Resort Lombok Tengah
Kuasa Hukum Termohon
Petitum Permohonan
1. Bahwa sebelum PEMOHON menguraikan alasan Permohonan Praperadilan ini, terlebih dahulu kami menyampaikan dasar-dasar hukum mengenai kewenangan dan Obyek Lembaga Praperadilan;
 
2. Bahwa Tindakan upaya paksa, seperti Penetapan Tersangka, Penangkapan, Penggeledahan, Penyitaan,  Penahanan, dan Penuntutan yang dilakukan dengan melanggar peraturan perundang-undangan pada dasarnya merupakan suatu tindakan perampasan hak asasi manusia. Menurut Andi Hamzah (1986:10), praperadilan merupakan tempat mengadukan pelanggaran Hak Asasi Manusia, yang 
 
 
 
 
memang pada kenyataannya penyusunan KUHAP banyak disemangati dan berujukan pada Hukum Internasional yang telah menjadi International Customary Law. Oleh karena itu, Praperadilan menjadi satu mekanisme kontrol terhadap kemungkinan tindakan sewenang-wenang dari penyidik atau penuntut umum dalam melakukan tindakan tersebut. Hal ini bertujuan agar hukum ditegakkan dan perlindungan hak asasi manusia sebagai Tersangka/Terdakwa  dalam pemeriksaan penyidikan dan penuntutan. Di samping itu, praperadilan bermaksud sebagai pengawasan secara horizontal terhadap  hak-hak tersangka/terdakwa dalam pemeriksaan pendahuluan (vide Penjelasan Pasal 80 KUHAP). Berdasarkan pada nilai itulah penyidik atau penuntut umum dalam melakukan tindakan penetapan tersangka, penangkapan, penggeledahan, penyitaan,  penahanan, dan penuntutan agar lebih mengedepankan asas dan prinsip kehati-hatian dalam menetapkan seseorang menjadi tersangka.
 
3. Bahwa sebagaimana diketahui Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Pasal 1 angka 10 menyatakan :
Praperadilan adalah wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini, tentang:
a. Sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka;
b. Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan;
c. Permintaan ganti kerugian, atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan.”
Bahwa selain itu yang menjadi objek praperadilan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 77 KUHAP diantaranya adalah:
Pengadilan negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini tentang:
a. sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan;
b. ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.
4. Bahwa Daalam perkembangannya pengaturan Praperadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 10 Jo. Pasal 77 KUHAP, sering terjadi tidak dapat menjangkau fakta perlakuan aparatur penegak hukum yang nyata-nyata merupakan pelanggaran hak asasi seseorang, sehingga yang bersangkutan tidak memperoleh perlindungan hukum yang nyata dari Negara. Untuk itu perkembangan yang demikian melalui dapat diakomodirnya mengenai sah tidaknya penetapan tersangka telah diakui merupakan wilayah kewenangan praperadilan, sehingga dapat meminimalisasi terhadap perlakuan sewenang-wenang oleh aparat penegak hukum. Dalam kaitan perubahan dan perkembangan hukum dalam masyarakat yang demikian, bukanlah sesuatu yang mustahil terjadi dalam praktik sistem hukum di negara mana pun apalagi di dalam sistem hukum common law, yang merupakan bagian dari sistem hukum di Indonesia. Peristiwa hukum inilah yang menurut (alm) Satjipto Rahardjo disebut ”terobosan hukum” (legal-breakthrough) atau hukum yang prorakyat (hukum progresif) dan menurut Mochtar Kusumaatmadja merupakan hukum yang baik karena sesuai dengan perkembangan nilai-nilai keadilan yang hidup dan berkembang dalam masyarakat. Terobosan hukum dan hukum yang baik itu merupakan cara pandang baru dalam memandang fungsi dan peranan hukum dalam pembangunan nasional di Indonesia. 
 
Dengan demikian hukum bukan hanya memiliki aspek normatif yang diukur dari kepastiannya melainkan juga memiliki aspek nilai (values) yang merupakan bagian dinamis aspirasi masyarakat yang berkembang dan terkini.
 
5. Bahwa melalui Putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014 tanggal 28 April 2015 telah terjadi perluasan obyek Praperadilan sekaligus memperkuat diakuinya lembaga praperadilan juga dapat memeriksa dan mengadili keabsahan penetapan tersangka, seperti pada kutipan putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014 sebagai berikut :
Mengadili,
Menyatakan :
1) Mengabulkan Permohonan untuk sebagian :
• [dst]
• [dst]
• Pasal 77 huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang hukum acara pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1981, Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai termasuk Penetapan Tersangka, Penggeledahan dan Penyitaan;
• Pasal 77 huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang hukum acara pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1981, Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai termasuk Penetapan Tersangka, Penggeledahan dan Penyitaan;
6. Bahwa dengan demikian jelas berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014 tanggal 28 April 2015 bahwa Penetapan Tersangka merupakan bagian dari wewenang Praperadilan. Mengingat Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final dan mengikat, maka sudah tidak dapat diperdebatkan lagi bahwa semua harus melaksanakan Putusan yang telah berkekuatan hukum tetap sejak diucapkan.
 
7. Bahwa selain adanya Putusan mahkamah Konstitusi Nomor : 21/PUUXII/2014 tersebut terdapat Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 130/PUU-XIII/2015, yang mewajibkan Penyidik untuk menyampaikan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan kepada Penuntut Umum, Pelapor/Korban, dan Terlapor, guna  memancing peran serta masyarakat untuk ikut membantu mengawasi bekerjanya sistem Peradilan Pidana dalam fungsi kontrol sosial; 
 
8. Bahwa dalam pertimbangannya Mahkamah Konstitusi Menyatakan “Pasal 109 ayat (1) KUHAP bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang frasa ‘penyidik memberitahukan hal itu kepada penuntut umum’ tidak dimaknai penyidik wajib memberitahukan dan menyerahkan SPDP penyidikan kepada penuntut umum, terlapor, dan korban/pelapor dalam waktu paling lambat 7 hari setelah dikeluarkannya surat perintah penyidikan” yang mana amar Putusannya sebagai berikut :
 
 Mengadili :
1) ....;
2) Menyatakan Pasal 109 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3209) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 secara bersyarat dan tidak mempunyai 
 
 
kekuatan hukum mengikat sepanjang frasa “penyidik memberitahukan hal itu kepada penuntut umum” tidak dimaknai “penyidik wajib memberitahukan dan menyerahkan surat perintah dimulainya penyidikan kepada penuntut umum, terlapor, dan korban/pelapor dalam waktu paling lambat 7 (tujuh) hari setelah dikeluarkannya surat perintah penyidikan”;
3) Dst..; 
4) Dst..; 
II. ALASAN PERMOHONAN PRAPERADILAN
A. BAHWA PENETAPAN PEMOHON SEBAGAI TERSANGKA TIDAK SAH, KARENA PELAPOR BUKANLAH PIHAK YANG SECARA LANGSUNG MENDAPAT KEKERASAN ATAU MENDAPAT ANCAMAN KEKERASAN SEHINGGA BEKONSEKUENSI HUKUM PELAPOR TIDAK MEMILIKI KEDUDUKAN HUKUM (LEGAL STANDING) SERTA PELAPOR BUKANLAH SUBYEK HUKUM “ORANG ATAU ORANG LAIN” SEBAGAIMANA DIMAKSUDKAN DALAM KETENTUAN UNSUR  PASAL 335 AYAT (1) KUHP; 
 
Bahwa pada hakekatnya mengenai adanya Laporan dan/atau Pegaduan dugaan terjadinya suatu peristiwa Pidana telah terakomodir dalam ketentuan Pasal 108 ayat (1) KUHAP  yang menyatakan “ Setiap orang yang mengalami, melihat, menyaksikan dan/atau yang menjadi korban peristiwa yang merupakan tindak Pidana berhak untuk mengajukan laporan dan/atau pengaduan kepada Penyelidik atau Penyidik baik lisan maupun tulisan”,   merujuk pada aturan hukum sebagaimana disebutkan di atas dikaitkan aturan materillnya yakni Pasal 3365 Ayat (1) KUHP sesungguhnya orang atau subyek hukum yang secara langsung mendapat kekerasan dan/atau ancaman kekerasanlah yang semestinya mengadukan atau membuat laporan kepihak aparat penegak hukum.
 
Bahwa sinkronisasi antara Peristiwa Hukum  yang dilaporkan dengan kedudukan hukum Pelapor harus saling berhubungan dan erat kaitannya satu sama lain, terlebih delik materil dalam ketentuan Pasal 335 Ayat (1) KUHP salah satu unsure pokoknya adalah adanya “orang atau orang lain /subyek hukum yang mendapat kekerasan atau ancaman kekerasan” yang didapatkan Pelapor itu sendiri terhadap Peristiwa hukum yang dilaporkannya, guna membahas yang demikian dapat Pemohon Uraikan makna dari ketentuan Pasal yang disangkakan terhadap Pemohon, antara lain sebagai berikut;
 
Pasal 335 Ayat (1)  KUHP berbunyi : Diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun atau denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah      “  Barang siapa secara melawan hukum memaksa orang lain supaya melakukan, tidak melakukan atau membiarkan sesuatu, dengan memakai kekerasan, atau dengan memakai ancaman kekerasan, baik terhadap orang itu sendiri maupun orang lain” ;
Bahwa dari serangkaian pemeriksaan yang telah dilakukan Pemohon dalam tahapan Penyidikan, dapat dimaknai subtansi laporan Pelapor adalah terhadap adanya peristiwa hukum pemagaran yang dilakukan Pemohon di atas tanah obyek sewa menyewa antara Pemohon dengan Pihak PT. KUTA BARU PARADISE, dimana di atas tanah tersebut berdiri bangunan Hotel Kuta Baru ( Saat ini berubah nama menjadi Nativo Lombok Hotel), adapun waktu kejadian menurut Termohon berikisar di  tanggal 16 Mei 2024 bertempat di resepsionis Hotel, sehingga pada tanggal 17 Mei 2024 Pelapor membuat Laporan Polisi (LP) dan diterima serta diregister dengan No. LP/B/130/V/Polres Lombok Tengah/Polda NTB, Tanggal 17 Mei 2024, dimana yang bertindak sebagai Pelapor adalah Direktur Utama PT. Kuta Baru Paradise yang bernama CRISTIAN SANTANA PALOMARES (WNA),  tentunya dengan dengan adanya Pelaporan dugaan tindak Pidana Pengancaman yang didapat Sdr. Cristian Santana Palomares,  maka dapat dipastikan dikaitkan dengan ketentuan unsure Pasal 335 Ayat (1) KUHP bahwa Pihak yang mendapat kekerasan atau mendapat ancaman kekerasan dari Pemohon adalah sdr. Cristian Santana Palomares sehingga Termohon menindaklanjuti proses pelaporan tersebut dengan mendudukan Sdr. Cristian Sanatan Palomares sebagai Korban;
 
Bahwa kronologis peristiwa berdasarkan hasil pemeriksaan di tingkat Penyidikan, ternyata ditemukan suatu fakta hukum yakni pada tanggal 16 Mei 2017 (waktu kejadian) ternyata Sdr.Cristian Santana Palomares yang bertindak sebagai Pelapor/Korban sama sekali tidak pernah bertemu secara bertatap muka (langsung) dengan Pemohon apalagi harus memberikan kekerasan ataupun ancaman kekerasan, tentunya sangat tidak masuk akal, bahkan pada periode waktu tersebut Sdr. Cristian Sanata Palomares tidak pernah berada dilokasi kejadian yang menurut Termohon kejadian tersebut terjadi di resepsionis “ Nativo Lombok Hotel”, yang menjadi pertanyaan besarnya adalah Kapan dan dimana Sdr. Cristian Santana Palomares (Pelapor) merasa diancam???;
 
Bahwa menurut hasil Penyidikan Termohon peristiwa pengancaman yang dilakukan Termohon terjadi di Resepsionis Hotel Nativo Lombok, yang tentunya menurut hemat Pemohon yang berada di lokasi adalah Pegawai Resepsionis yang bertugas pada saat kejadian, dan kalaupun yang mendapat ancaman kekerasan tersebut adalah Pegawai Resepsionis Hotel, maka semestinya secara hukum yang mendapat ancaman itulah yang memiliki hak untuk melaporkan peristiwa hukum yang terjadi dengan diposisikan sebagai korban (subyek hukum), bukan pihak lain yang tidak masuk dalam kualifikasi subyek hukum yang dimaksudkan dalam ketentuan Pasal 335 Ayat (1) KUHP;
 
Bahwa kalaupun peristiwa hukum  tersebut benar terjadi, maka sesungguhnya yang menjadi  korban  “ orang atau orang lain”  sebagaimana dimaksdukan dalam unsure Pasal 335 Ayat (1) adalah Pihak Pegawai Resepsionis, karena ditujukan langsung pada dirinya, dan hanya korbanlah yang berhak untuk membuat pelaporan di Aparat Penegak Hukum, dalam perkara Aquo  karena Pelapor sdr. Cristian Santana Palomares bukanlah subyek “orang atau orang lain” sebagaimana unsure Pasal 335 Ayat (1), maka secara yuridis formal tidak memiliki kedudukan hukum (Legal Standing) untuk bertindak sebagai Pelapor dalam perkara ini;
 
Bahwa selain tidak memiliki kedudukan hukum sebagai Pelapor karena bukanlah subyek hukum “orang atau orang lain” yang dimaksud dalam Pasal 335 Ayat (1), sdr. Cristian Santana Palomares (WNA) selaku Pimpinan Perusahaan, dalam menjalankan bidang usaha perhotelan patut diduga tidak disertai perizinan yang sah sebagaimana proses perizinan berusaha yang berlaku di Indonesia, salah satunya adalah IMB (Izin Mendirikan Bangunan) dan perizinan sah lainnya, hal itu dikarenakan pada saat Pemohon masih menjabat sebagai salah satu pemegang saham di PT. Kuta Baru Paradise,bidang usaha perhotelan yang dijalankan tidak lengkap, oleh karenanya sdr. Cristian Santana Palomares bukanlah Direksi yang berhak mewakili baik diluar maupun didalam persidangan sebagaimana amanat Undang-undang Perseroan Terbatas No. 40 Tahun 2007 khususnya pasal 98 ayat (1);
 
Bahwa dengan demikian Pelapor sangat terang benderang tidak memilki kedudukan hukum sebagai Perlapor dalam perkara Aquo, oleh karena itu Laporan dugaan tindak Pidana Pengancaman sebagaimana Pasal 335 Ayat (1) yang dilaporkan Pelapor dalam perkara Aquo dapat dipastikan tidak memenuhi syarat formil (cacat formil), sehingga akibat hukumnya adalah Laporan yang dibuat Pelapor dengan Laporan Polisi No. LP/B/130/V/Polres Lombok Tengah/Polda NTB, Tanggal 17 Mei 2024 adalah Tidak Sah ;  
  
 
 
 
 
 
 
B. BAHWA PENETAPAN PEMOHON SEBAGAI TERSANGKA TIDAK SAH, KARENA TIDAK DIDASARI OLEH ADANYA SURAT PERINTAH PENYELIDIKAN TERLEBIH DAHULU ( TERMOHON MELAKUKAN TINDAKAN PENYIDIKAN TANPA ADANYA TAHAPAN PENYELIDIKAN TERLEBIH DAHULU);
 
1. Bahwa dalam hukum acara pidana istilah “penyidikan” atau “penyelidikan” sering kali di sebutkan dimana pada Intinya, ke-2 (dua) istilah tersebut dalam hukum acara pidana adalah sesuatu yang berbeda ;
Bahwa Istilah “penyelidikan” dan “penyidikan” dipisahkan oleh KUHAP, walaupun menurut bahasa Indonesia kedua kata itu berasal dari kata dasar sidik, yang artinya memeriksa, meneliti; 
 
Penyelidikan:
 
Bahwa Dalam Pasal 1 angka 5 KUHAP disebutkan Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.”
Penyelidikan dilakukan berdasarkan:
 Informasi atau laporan yang diterima maupun diketahui langsung oleh penyelidik/penyidik;
 Laporan Polisi;
 Berita Acara pemeriksaan di TKP.
 
Bahwa Penyelidikan pada dasarnya bukanlah suatu tindakan yang berdiri sendiri.  Oleh karena itu, penyelidikan dapat dikatakan sebagai bagian dari fungsi penyidikan.
 
Penyidikan:
 
Bahwa Dalam Pasal 1 angka 2 KUHAP disebutkan Penyidikan  adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tersangkanya.”
 
Bahwa Pada dasarnya penyidikan adalah tahapan penyelesaian perkara pidana setelah penyelidikan yang merupakan tahapan permulaan mencari ada atau tidaknya tindak pidana dalam suatu peristiwa. Ketika diketahui ada tindak pidana terjadi, maka saat itulah penyidikan dapat dilakukan berdasarkan hasil penyelidikan. Pada tindakan penyelidikan, penekanannya diletakkan pada tindakan “mencari dan menemukan” suatu “peristiwa” yang dianggap atau diduga sebagai tindakan pidana. Sedangkan pada penyidikan titik berat penekanannya diletakkan pada tindakan “mencari serta mengumpulkan bukti”. Penyidikan bertujuan membuat terang tindak pidana yang ditemukan dan juga menentukan pelakunya ;
 
2. Bahwa dalam perkara  Aquo TERMOHON tidak pernah melakukan tahapan PENYELIDIKAN terlebih dahulu sebagaimana ketentuan tahapan pemeriksaan yang diharuskan dalam Undang -Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Jo. Peraturan Kepala Kepolisan Negara Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2019 Tentang Pencabutan Perkap Nomor 14 Tahun2012 Tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana ;
 
 
 
 
3. Bahwa dalam perkara Aquo TERMOHON tidak pernah melakukan tahapan PENYELIDIKAN terlebih dahulu dapat terihat dari Termohon tidak pernah diperiksa dalam rangka memberikan keterangan dalam tingkatan Penyelidikan serta dapat dilihat pula dari surat-surat yang diberikan TERMOHON kepada PEMOHON sebagaimana termuat / atas dasar rujukan :
 
a) Laporan Polisi No. LP/B/130/V/SPKTPolres Lombok Tengah/Polda NTB, Tanggal 17 Mei 2024;
b) Surat Perintah Penyidikan (SPRINDIK) No.Sp.Sidik/71.a/V/RES.1.24/2024/Reskrim,Tanggal 27 Mei 2024;
c) Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) No.SPDP/60/V/RES.1.24/2024/Reskrim Tanggal 30 Mei 2024;
d) Surat Pemberitahuan Penetapan Tersangka No.B/47.a/VI/RES.1.24/2024/Reskrim Tanggal 3 juni 2024;
 
4. Bahwa dari semua dokumen yang PEMOHON terima, TERMOHON tidak ada memuat/menuliskan adanya rujukan dalam penindakan yang dilakukan oleh TERMOHON dalam menangani perkara Aquo mengenai pernah dilakukannya PENYELIDIKAN yang seharusnya temuat dalam dasar rujukan surat-surat yang diterbitkan dengan memuat/mencantumkan Surat Perintah Penyelidikan No.Pol:SP.PENYELIDIKAN,..dst,  berdasarkan adanya fakta tersebut maka dapat dipastikan dalam perkara ini TERMOHON sama sekali tidak menjalankan ketentuan sebagaimana termuat dalam Undang -Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Jo. Peraturan Kepala Kepolisan Negara Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2019 Tentang Pencabutan Perkap Nomor 14 Tahun 2012 Tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana ;
 
5. Bahwa Berdasarkan pada pembahasan yang berkaitan dengan permasalahan TERMOHON yang tidak pernah melakukan tahapan PENYELIDIKAN terlebih dahulu sebagaimana ketentuan tahapan pemeriksaan yang diharuskan dalam KUHAP dan  Peraturan Kepala Kepolisan Negara Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2019 Tentang Pencabutan Perkap Nomor 14 Tahun 2012 Tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :
 
a. Bahwa  akibat hukum bagi penyelidik yang tidak melakukan penyelidikan terhadap adanya dugaan tindak pidana yang terjadi, hal ini diatur dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor. 2 Tahun 2003 tentang Peraturan Disiplin Anggota Kepolisian Republik Indonesia;
 
b. Bagi penyelidik yang tidak melakukan penyelidikan terhadap adanya dugaan tindak pidana yang terjadi, maka berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2003 tentang Peraturan Disiplin Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat dilakukan tindakan disiplin, yakni :
 
1. Berupa teguran – teguran lisan dan/atau tindakan fisik;
2. Hukuman Disilpin,berupa:
 
1. Teguran tertulis;
2. Penundaan mengikuti pendidikan paling lama 1 ( satu ) Tahun ;
3. Penundaan Kenaikan gaji berkala;
4. Penundaan kenaikan pangkat untuk paling lama 1 ( satu ) Tahun ;
5 Mutasi yang bersifat demosi;
6. Pembebasan dari jabatan;
7. Penempatan dalam tempat khusus paling lama 21 ( dua puluh satu) hari ;
 
 
 
 
6. Bahwa dengan melihat fakta didalam surat-surat yang diterbitkan oleh TERMOHON dan telah diterima oleh PEMOHON serta Pemohon tidak pernah memberikan dalam tahapan Penyelidikan, maka telah membuktikan dalam perkara A quo TERMOHON tidak pernah melakukan tahapan PENYELIDIKAN terlebih dahulu dengan demikian dapat dipastikan Tindakan TERMOHON telah “menyimpangi”  Ketentuan yang di atur dalam KUHAP dan  Peraturan Kepala Kepolisan Negara Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2019 Tentang Pencabutan Perkap Nomor 14 Tahun 2012 Tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana, sebagai bentuk pelanggara etik yaitu “merupakan tindakan kesewenang-wenangan dan bertentangan dengan asas kepastian hukum” sehingga penetapan tersangaka terhadap diri PEMOHON dapat dinyatakan tidaksah dan tidak berdasar atas hukum ;
 
 
C. BAHWA PENETAPAN PEMOHON SEBAGAI TERSANGKA TIDAK SAH, KARENA  SURAT PEMBERITAHUAN DIMULAINYA PENYIDIKAN (SPDP) TIDAK DISERAHKAN/DIBERITAHUKAN KEPADA PELAPOR/KORBAN SEBAGAIMANA PROSEDUR YANG DIATUR DALAM PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI (MK) NO.130/PUU-XIII/2015 TANGGAL 11 JANUARI 2017;
 
1. Bahwa dalam tahapan proses yang dilalui oleh Pemohon sampai akhirnya Pemohon ditetapkan sebagai Tersangka oleh Termohon, terdapat adanya cacat prosedur dalam Penyidikan yang dilakukan terhadap diri Pemohon, dimana Termohon tidak menjalankan amanat Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 130/PUU-XIII/2015 tanggal 11 Januari 2017, dimana telah mewajibkan bagi Penyidik untuk mengirimkan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP), tidak hanya kepada Penuntut Umum melainkan kepada Korban/Pelapor dan Terlapor/Tersangka dalam jangka waktu 7 hari setelah dikeluarkannya Surat Perintah Penyidikan (Sprindik) ;   
 
2. Bahwa pemberitahuan dan penyerahan SPDP merupakan syarat mutlak keabsahan proses Penyidikan yang dilakukan Termohon, hal ini sebagaimana telah dituangkan dalam pertimbangannya Mahkamah Konstitusi No. 130/PUU-XIII/2015 tanggal 11 Januari 2017 Menyatakan “Pasal 109 ayat (1) KUHAP bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang frasa ‘penyidik memberitahukan hal itu kepada penuntut umum’ tidak dimaknai penyidik wajib memberitahukan dan menyerahkan SPDP penyidikan kepada penuntut umum, terlapor, dan korban/pelapor dalam waktu paling lambat 7 hari setelah dikeluarkannya surat perintah penyidikan”;
 
3. Bahwa dengan tidak diberikannya SPDP oleh Termohon kepada Penuntut Umum, Korban/Pelapor dan Terlapor/Tersangka secara kolektif mengakibatkan adanya kecacatan secara procedural proses penyidikan yang dilakukan oleh Termohon terhadap Pemohon, sehingga  secara hukum Penetapan Tersangka Pemohon oleh Termohon adalah tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
 
4. Bahwa terlebih lagi dalam Hukum Pidana Indonesia  mengenal Konsep Integrated criminal Justice System, dalam konsep ini menjelaskan tentang sistem Peradilan Pidana yang mengatur bagaimana penegakan hukum pidana dijalankan, dalam konsep  Integrated criminal Justice System ini mengatur bagaimana proses berjalannya suatu perkara mulai dari penyelidikan sampai pemasyarakatan, artinya bahwa apabila dalam suatu tahapan proses yang dilakukan terhadap diri seseorang yakni dari Penyelidikan sampai Pemasyarakatan ada salah satu tahapan proses dianggap tidak sah/bertentangan dengan Peraturan perundang-undangan yang berlaku maka proses yang lainnya menjadi tidak sah pula;
 
 
5. Bahwa dalam Perkara ini dari rangkaian Proses Penyidikan yang dilakukan, Termohon telah menerbitkan  Sprindik (Surat Perintah Penyidikan) No.Sp.Sidik/71.a/V/RES.1.24/2024/Reskrim,Tanggal 27 Mei 2024, dan terhadap Sprindik tersebut oleh Termohon telah mengirimkan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) yang ditujukan kepada Kepala Kejaksaan Negeri Lombok tengah dengan Surat No.SPDP/60/V/RES.1.24/2024/Reskrim Tanggal 30 Mei 2024, yang ditembuskan kepada (1) Kapolres Lombok Tengah, (2) Ketua Pengadilan Negeri Praya dan (3) Terlapor TANPA diberitahukan/diberikan SPDP tersebut kepada PELAPOR/KORBAN, padahal berdasarkan aturan hukum yang berlaku suatu kewajiban Penyidik untuk memberitahukan SPDP kepada PELAPOR/KORBAN, dengan tidak diberitahukannya/diserahkannya SPDP oleh Termohon kepada Pelapor/Korban maka proses penyidikan yang dilakukan cacat prosedur, sehingga Penetapan Pemohon Sebagai Tersangka adalah tidak sah dan cacat hukum;   
 
6. Bahwa berdasarkan beberpa  uraian di atas, maka dapat dipastikan Penetapan status Tersangka pada diri PEMOHON didasari dengan Penyerahan SPDP yang tidak sesuai prosedur hukum yang berlaku dapat dikategorikan Penetapan Tersangka PEMOHON tidak sah dan cacat hukum, sehingga sudah selayaknya untuk dibatalkan; 
 
D. BAHWA PENETAPAN PEMOHON SEBAGAI TERSANGKA CACAT HUKUM KARENA TIDAK DIDASARI ALAT BUKTI YANG SAH KHUSUSNYA TERKAIT TIDAK PERNAH DILAKUKANNYA PENYITAAN BARANG BUKTI YANG DIGUNAKAN DALAM MELAKUKAN KEKERASAN ATAU ANCAMAN KEKERASAN SEBAGAIMANA SANGKAAN TERMOHON KEPADA PEMOHON ;
 
Bahwa setiap barang bukti  yang dijadikan dasar oleh Penyidik sebagai barang bukti dalam penanganan suatu perkara Pidana hendaknya dilakukan Penyitaan dalam tahapan Penyidikan, hal ini bertujuan untuk mendapatkan kepastian, keaslian (originalitas) serta kejelasan sumber perolehan barang bukti tersebut, sehingga dapat menciptakan kepastian hukum baik bagi Penegak Hukum maupun bagi masyarakat selaku pencari keadilan;
 
Bahwa KUHAP sebagai instrument Penting dalam menjamin tegaknya prosedur dalam menjalankan praktek Hukum Acara Pidana di Indonesia telah sangat jelas mengatur hal tersebut, sehingga tidak ada ruang bagi Penegak Hukum khususnya Penyidik untuk tidak melaksanakannya, dan apabila hal tersebut dilanggar tentunya memiliki konsekuensi hukum mengenai keabsahan prosedur yang dijalankannya;
 
Bahwa dikaitkan dengan perkara Aquo, Termohon telah mengambil kesimpulan dengan keyakinannya dimana Pemohon telah disangkakan melakukan tindak Pidana sebagaimana dimaksudakan dalam ketentuan Pasal 335 Ayat (1) KUHP atau yang familiar dengan istilah Pasal Pengancaman, unsure Pasal yang disangkakan Pada diri Pemhonon harus memuat kekerasan ataupun ancaman kekerangan yang secara nyata terlihat, dan harus jelas alat/barang yang digunakan untuk melakukan kekerasan maupun ancaman kekerasan tersebut;
 
Bahwa Pemohon dalam hal ini tidak pernah ada satupun barang bukti yang disita darinya oleh Termohon sebagai dasar penetapan Tersangka, kalau dikaitkan dengan unsure Pasal yang terkandung dalam Pasal 335 Ayat (1) Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi No.1/PUU-XI/2013 tanggal 16 januari 2014  telah terjadi pergeseran paradigma, dimana penerapan Pasal 335 Ayat (1) harus nyata tindakan yang dilakukan oleh Terlapor/Tersangka dalam hal melakukan pengancaman berikut alat yang digunakan, dalam hal ini Termohon menetapkan Pemohon sebagai Tersangka atas dugaan perkara kekerasan atau ancaman kekerasan, namun anehnya Termohon tidak melakukan penyitaan satupun barang bukti yang digunakan Pemohon, sehingga dapat dipastikan tindakan Pemohon dalam menetapkan Pemohon sebagai Tersangka adalah tidak sah dan tidak sesuai prosedur;
 
 
E. BAHWA PENETAPAN PEMOHON SEBAGAI TERSANGKA ADALAH TIDAK SAH, KARENA PROSEDUR PEMANGGILAN YANG DILAKUKAN DALAM PROSES PENYIDIKAN BERTENTANGAN DENGAN KETENTUAN PASAL 227 DAN 228 KUHAP;
 
1. Bahwa pada hakekatnya Hukum Pidana  bertujuan untuk menciptakan ketentraman dan melindungi kesejahteraan masyarakat, hal inilah yang di ungkapkan dalam sebuah Teori yang dinamakan Teori gabungan (verenigingstheorien) dalam  Konteks hukum pidana yang di cetuskan oleh Para ahli seperti Grotius, Thomas Aquino dll (Buku Asas-asas Hukum Pidana- Dr. Andi Hamzah, SH);, bahwa batasan teori yang di uraikan di atas tentunya tidak bertentangan dan/atau melanggar hak-hak Konstitusional dari Pemohon;
 
2. Bahwa KUHAP sebagai acuan prosedur dalam menjalankan hukum Pidana, sejatinya harus dapat berjalan sebagaimana yang telah ditentukan dan termuat didalamnya, salah satunya adalah mengenai mekanisme pemanggilan bagi setiap orang yang berstatus saksi, ahli, Tersangka/Terdakwa  keseluruhannya telah diakomodir dalam Hukum Acara Perdata, sehingga Aparat yang berwenang tidak memanggil seseorang sesuai kehendaknya tanpa mempertimbangkan hak-hak orang tersebut yang telah dijamin oleh Undang-undang maupun Undang-undang Dasar tahun 1945;
 
3. Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 227 ayat (1) KUHAP disebutkan “ semua jenis pemberitahuan atau panggilan oleh pihak yang berwenang dalam semua tingkat pemeriksaan kepada Terdakwa, saksi atau ahli disampaikan selambat-lambatnya 3 hari sebelum tanggal hadir yang ditentukan,di tempat tinggal mereka atau di tempat kediaman mereka terakhir,” , selanjutnya Pasal 228 disebutkan “ Jangka waktu menurut undang-undang ini mulai diperhitungkan pada hari berikutnya.”
 
Bahwa diperlukan adanya tenggang waktu pemanggilan sebagaimana dimaksudkan dalam ketentuan hukum di atas, merupakan suatu proteksi yang diberikan negara kepada setiap warga negaranya berlandasakan Hak Asasi manusia untuk dapat senantiasa mempersiapkan diri menghadapi panggilan tersebut baik dalam materi/subtansi pemeriksaan maupun kesiapan mentalnya.
 
4. Bahwa dalam perkara ini Pemohon dipanggil sebagai saksi berdasarkan surat Panggilan I tanggal 27 Mei 2024 untuk hadir pada tanggal 29 Mei 2024, dan Pemohon menerima surat panggilan tersebut pada sore hari tanggal 28 Mei 2024, begitu pula dalam hal Panggilan Ke II tertanggal 30 Mei 2024 untuk hadir memberikan keterangan tanggal 01 Juni 2024, artinya bahwa tenggang waktu yang diberikan hanya berkisar 1 hari dari jadwal pemeriksaan yang ditentukan Termohon, tentunya dari serangkaian pemanggilan yang ditujukan pada Pemohon sangat bertentangan dan melanggar dengan Ketentuan pasal 227 dan 228 KUHAP, dengan demikian terlihat jelas adanya prosedur administrasi Penyidikan yang dilanggar Termohon, maka selayaknya penetapan Pemohon sebagai Terangka atas dugaan tindak Pidana yang dimaksdukdan dalam Pasal 335 Ayat (1) KUHP adalah tidak sah dan bertentangan dengan aturan hukum yang berlaku; 
 
F. BAHWA PENETAPAN PEMOHON SEBAGAI TERSANGKA TIDAK MEMENUHI BUKTI PERMULAAN YANG CUKUP; 
 
1. Bahwa Pemohon adalah pemilik sah lahan yang beridiri di atasnya bangunan hotel kuta baru (sekarang Nativo Hotel Lombok)  dibawah  bendera PT.Kuta Baru Paradise dengan Pelapor (Sdr.Cristian Santana Palomares) menjabat sebagai Direktur Utamanya, dimana lahan Pemohon tersebut tercatat berdasarkan identitas Sertipikat Hak Milik No.3089/Kuta Surat ukur No.2099/Kuta/2019 dengan luas 2.995 M2 (Dua Ribu Sembilan Ratus Sembilan Puluh Lima Meter Persegi) atas nama MANTAP (Orang tua/Bapak Pemohon), dan sebagian lahan milik Pemohon tersebut yakni seluas 1.756 M2 (Seribu Tujuh Ratus Meter Persegi) disewakan kepada PT. Kuta Baru Paradise berdasarkan akta Sewa Menyewa No.77 tanggal 07 Januari 2014, yang dibuat di Notaris SAHARJO, SH.,M.Kn dengan masa sewa selama 30 tahun dan sistem pembayaran perpanjangan  terkonfirmasi setiap tahunnya sebelum tanggal 31 Desember;
 
2. Bahwa  Spririt awal/tujuan utama Pemohon menyetujui perjanjian sewa obyek tanah dengan PT. Kuta Bau Paradise bahkan dengan harga yang relative murah adalah semata-mata agar sanak saudara Pemohon nantinya dapat diakomodir guna dapat bekerja diperusahaan tersebut sebagaimana yang dijanjikan oleh Pihak PT. Kuta Baru Paradise;
 
3. Bahwa adanya kesepakatan sebagaimana dimaksudkan pada angka 2 di atas dituangkan secara tertulis yakni pada  Pasal 6 angka 2 akta Sewa Menyewa No.77 dimana menyatakan “  Kewajiban Pihak Kedua (PT. Kuta Baru Paradise) menerima lamaran pekerjaan Pihak Pertama dan/atau sanak keluarga dari Pihak Pertama dengan ketentuan sesuai prosedur penerimaan tenaga kerja dan memenuhi syarat-syarat  yang telah ditentukan oleh Pihak Kedua dan atau pihak manajemen atas usaha tersebut” ,  namun terhadap hal demikian sanak keluarga Pemohon berulang kali mengajukan lamaran pekerjaan di Kuta Baru Hotel, namun tidak pernah diperhatikan/diterima hingga sekarang, padahal spirit awal klien kami bersedia menyewakan lahannya kepada PT. Kuta Baru Paradise adalah agar ada tempat/lahan pekerjaan bagi sanak keluarga Pemohon yang sangat membutuhkan pekerjaan;
 
4. Bahwa mendasari tidak dilaksanakannya kesepakatan  yang telah di buat antara Pemohon dengan PT. Kuta Baru Paradise sebagaimana dijelaskan di atas, maka Pemohon berusaha pula untuk merubah kontrak/addendum, khususnya terkait  meminta kenaikan harga sewa tanah milik Pemohon, karena perjanjian yang ada telah melenceng dari kehendak awal Pemohon menyewakan obyek tanah tersebut kepada PT. Kuta Baru Paradise;
 
5. Bahwa berdasarkan Perjanjian Sewa yang dibuat kedua belah Pihak, disebutkan masa sewa adalah selama 30 Tahun dengan metode pembayaran dilakukan tidak sekaligus, melainkan pembayaran setiap tahun yakni tepatnya dibayarkan setiap tanggal 31 Desember pada setiap akhir tahun;   
 
6. Bahwa atas dasar akan berakhirnya masa pembayaran sewa tahun sebelumnya, sesuai dengan kesepakatan yang tertuang dalam akta Sewa Menyewa tersebut, maka klien kami berusaha mengingatkan hal ini kepada pihak manajemen Kuta Baru Hotel berdasarkan surat pemberitahuan resmi tanggal 19 Desember 2022, surat tanggal 30 Desember tahun 2022 dan Surat tertanggal 01 Januari 2023, dimana ketiga surat yang dilayangkan klien kami kepada pihak Manajemen Kuta Baru Hotel sama sekali tidak ditanggapi dan/atau tidak mendapat respon dari Pihak Manajemen Hotel;
 
7. Bahwa selain sebagai pemilik tanah,Pemohon pada awalnya merupakan bagian dari Pemegang Saham di perusahaan PT. Kuta Baru Paradise, namun hak atas saham miliknya telah dijual kepada Pelapor tetapi belum lunas terbayarkan hingga saat ini sejumlah Rp.250.000.000 (Dua Ratus Lima Puluh Juta Rupiah) dan Pelapor tidak mau membayarkannya tanpa alasan yang jelas;  
 
8. Bahwa dengan tidak ditanggapinya persoalan-persoalan yang diutarakan Pemohon berdasarkan surat-surat yang diajukan, maka Pemohon berdasarkan ketentuan Pasal 10 angka 1 Akta Sewa Menyewa yang menyatakan “ Apabila terjadi perselisihan antara kedua belah pihak sehubungan dengan perjanjian sewa menyewa ini, kedua belah pihak bersepakat menyelesaikannya secara musyawarah” ,  melandasi adanya bunyi klausul akta yang demikian, Pemohon  dengan itikad baik mencoba menghubungi Pihak PT. Kuta Baru Paradise via telephone dan Whatsup namun kembali tidak mendapatkan respon.
9. Bahwa tidak ditanggapinya niatan Pemohon oleh Pihak PT. Kuta Baru Paradise pada saat itu sekitar tahun 2023, dengan sangat terpaksa Pemohon melakukan pemagaran terhadap akses masuk ke Kuta Baru Hotel (saat ini berubah nama menjadi NATIVO HOTEL) yang berakibat adanya insiden Pemohon mau memukul salah satu Direksi PT. Kuta Baru Paradise yang bernama Pablo Martin-martin menggunakan batang bambu sebagaimana rekaman video pada saat ini, namun Perbuatan Pemohon pada saat itu telah dijalani berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri Praya No.135/Pid.B/2023/PN.Pya Tanggal 21 November 2023, dan Terbukti melakukan pengancaman Pasal 335 Ayat (1) KUHP dengan Vonis yang dijalani selama 6 (enam) bulan dan 15 (Lima Belas) Hari;
 
10. Bahwa selesainya menjalani hukuman pidana, Pemohon kembali meminta haknya kepada Pelapor namun kembali tidak mendapat respon dengan baik, dan pada akhirnya Pemohon melakukan Pemagaran didepan hotel natove Lombok yang berdiri di atas tanah milik Pemohon, akhirnya akibat pemagaran yang dilakukan terjadi beberapa kali mediasi yang melibatkan Pihak Pemerintah Daerah maupun Pihak Kepolisian yang diikuti kedua belah pihak (Pemohon dan Pelapor), puncaknya telah terjadi kesepakatan antara kedua belah pihak mengenai harga sewa tanah yang disepakati yakni sebesar Rp.175.000.000 (seratus tujuh puluh lima juta rupiah) setiap tahunnya, yang akan dibayarkan Pertama untuk masa sewa 5 (lima) tahun dengan waktu pembayaran yang disepakati setelah hari raya idul fitri, bahkan sebagai tanda keseriusan Pihak PT. Kuta Baru Paradise Klien Kami diberikan tanda jadi kisaran 12 Juta Rupiah ;  
 
11. Bahwa setelah hari raya Idul Fitri berakhir Pemohon mencoba menghubungi Pihak PT. Kuta Baru Paradise untuk memastikan realisasi kesepakatan yang telah dibangun sebelumnya, namun oleh Pihak Perusahaan sampai dengan waktu yang ditentukan  tidak merespon dan tidak melaksanakan apa yang disepakatinya, sehingga Pemohon berinisiatif untuk melakukan pemagaran kembali terhadap tanah miliknya, dan akhirnya Pihak PT. Kuta Baru Paradise melaporkan persitiwa tersebut kepihak kepolisian dalam hal ini Polres Lombok tengah;
 
12. Bahwa adapaun alasan utama Pemohon untuk melakukan pemagaran adalah;
 
a. PT. KUTA BARU PARADISE Tidak melaksanakan Isi  Pasal 6 angka 2 akta Sewa Menyewa No.77 dimana menyatakan “  Kewajiban Pihak Kedua (PT. Kuta Baru Paradise) menerima lamaran pekerjaan Pihak Pertama dan/atau sanak keluarga dari Pihak Pertama dengan ketentuan sesuai prosedur penerimaan tenaga kerja dan memenuhi syarat-syarat  yang telah ditentukan oleh Pihak Kedua dan atau pihak manajemen atas usaha tersebut”;
b. PT. KUTA BARU PARADISE belum membayarkan uang sewa tanah kepada Pemohon terhitung sejak tahun 2022 s/d saat ini;
c. PT. KUTA BARU PARADISE belum membayarkan hasil penjualan saham milik Pemohon sebesar Rp.250.000.000 (Dua Ratus Lima Puluh Juta Rupiah);
d. PT. KUTA BARU PARADISE  Tidak merealisasikan kesepakatan yang telah disepakati dengan Pemohon yakni terkait perubahan harga sewa tanah sebesar Rp.175.000.000 (Seratus Tujuh Puluh Lima Juta Rupiah);
 
13. Bahwa dalam rangka pemagaran yang dilakukan Pemohon tidak pernah sama sekali dibarengi dengan tindakan yang melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan terhadap “ orang atau orang lain”,  sebagaimana yang disyaratkan Pasal 335 Ayat (1) KUHP, Pemohon meyakini tidak ada satupun alat bukti yang membuktikan adanya peristiwa pengancaman yang dilakukan Pemohon;
 
14. Bahwa Pemohon meyakini penerapan Pasal 335 KUHP ini hanyalah sebagai alat pemuas Pelapor yang digunakan Termohon untuk dapat menahan Pemohon, sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 21 ayat (4) Huruf B KUHAP. Padahal peristiwa hukumnya sama sekali tidak berkaitan dengan unsure-unsur Pasal yang termuat dalam rumusan Pasal 335 Ayat (1) KUHP Pasca adanya putusan Mahkamah Konstitusi No.1/PUU-XI/2013 tanggal 16 januari 2014;
 
15. Bahwa terhadap penerapan unsure Pasal 335 Ayat (1) hanyalah diberlakukan bagi kekerasan atau ancaman kekerasan terhadap orang (Manusia) bukan Terhadap Barang (Benda mati), sehingga tidak selayaknya penerapan Pasal ini diterapkan/disematkan pada tindakan yang dilakukan Pemohon; 
 
16. Bahwa berdasar pada Putusan Mahkamah Konstitusi dengan nomor Perkara 21/PUU-XII/2014 Frasa “Bukti Permulaan”, Frasa “Bukti Permulaan Yang Cukup” dan “Bukti Yang Cukup” dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17 dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP oleh Mahkamah Konstitusi dinyatakan harus dimaknai sebagai “minimal dua alat bukti” sesuai dengan pasal 184 KUHAP.;
 
17. Bahwa melalui putusan Mahkamah Konstitusi (MK) bernomor 21/PUU-XII/2014. MK mengabulkan sebagian permohonan yang salah satunya menguji ketentuan objek Praperadilan. Melalui putusannya, Mahkamah Konstitusi menyatakan inkonstitusional bersyarat terhadap frasa “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup”, dan “bukti yang cukup” dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP sepanjang dimaknai minimal dua alat bukti sesuai Pasal 184 KUHAP. Pasal 77 huruf a KUHAP dinyatakan inkontitusional bersyarat sepanjang tidak dimaknai termasuk penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan;
 
18. Bahwa untuk itu berdasar pada putusan Mahkamah Konstitusi (MK) bernomor 21/PUU-XII/2014 Frasa ‘bukti permulaan’, ‘bukti permulaan yang cukup’, dan ‘bukti yang cukup’ dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP harus ditafsirkan sekurangkurangnya dua alat bukti sesuai Pasal 184 KUHAP. Dikarenakan Putusan MK bersifat final dan mengikat, serta berlaku asas Res Judicata (Putusan Hakim Harus dianggap benar) serta Putusan MK bersifat Erga Omnes (berlaku umum), maka harus menjadi rujukan dalam setiap proses pemeriksaan oleh TERMOHON; 
 
19. Bahwa berdasar pada uraian diatas, maka tindakan TERMOHON yang menetapkan PEMOHON sebagai Tersangka tanpa didasari/ tidak memenuhi minimal 2 (dua) alat bukti sebagaimana tertuang dalam Putusan Mahkamah Konstitusi dengan nomor Perkara 21/PUU-XII/2014, maka dapat dinyatakan Penetapan Tersangka terhadap PEMOHON dinyatakan tidak sah dan tidak berdasar menurut hukum.;
 
 
Berdasarkan pada argument dan fakta-fakta yuridis diatas, Pemohon memohon kepada Hakim Tunggal pada Pengadilan Negeri Praya, yang memeriksa, mengadili dan memutus  perkara A Quo berkenan memutus perkara ini sebagai berikut :
1. Menerima dan Mengabulkan Permohonan PEMOHON Pra Peradilan untuk seluruhnya;
2. Menyatakan tindakan TERMOHON  yang menetapkan PEMOHON sebagai Tersangka atas dugaan tindak pidana Pengancaman sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 335 Ayat (1)  KUHP adalah tidak sah dan tidak berdasarkan atas hukum dan oleh karenanya penetapan tersangka A quo harus dibatalkan atau setidaknya dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
3. Menyatakan secara hukum Penyidikan yang dilakukan TERMOHON beserta segala akibat hukumnya yang didasari atas Laporan Polisi No. LP/B/130/V/SPKT/Polres Lombok Tengah/Polda NTB, Tanggal 17 Mei 2024, adalah Tidak Sah;
4. Menyatakan Surat Perintah Penyidikan (Sprindik) No.Sp.Sidik/71.a/V/RES.1.24/2024/Reskrim,Tanggal 27 Mei 2024 yang dikeluarkan TERMOHON adalah tidak sah dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat;  
5. Memerintahkan kepada TERMOHON untuk menghentikan penyidikan terhadap PEMOHON; 
6. Memulihkan hak PEMOHON dalam kemampuan, harkat serta martabatnya seperti keadaan semula; 
7. Membebankan TERMOHON Pra Peradilan untuk membayar biaya yang timbul dalam perkara ini;
Pihak Dipublikasikan Ya